News Update

Pidato Sukarno : Menjelamatkan Revolusi Kita


Gambar Atas : Megawati Sewaktu Remadja, Bung Karno dan John F.
Kennedy, Presiden Amerika Serikat.




MARILAH KITA BERSAMA-SAMA MENJELAMATKAN REVOLUSI KITA !

Amanat Presiden Sukarno dihadapan wakil-wakil Partai Politik
di Guesthouse Istana, Djakarta, tanggal 27 Oktober 1965



Bismillah, sidang saja buka.

Saudara-saudara,

Pada saat ini kita sekalian, seluruh bangsa Indonesia, seluruh negara Indonesia, bahkan seluruh Revolusi Indonesia mengalami saát-saát jang amat kritik. Jang saja maksudkan ialah sedjak terdjadinja peristiwa 30 September. Saudara-saudara mengetahuinja, bahwa saja, Presiden, dihadapkan kepada tugas mengatasi, membereskan segala akibat-akibat daripada peristiwa 30 September itu.

Saudara-saudara telah mengetahui dan oleh kerenanja tidak perlu lagi saja sebutkan disini segala kedjadian-kedjadian jang terdjadi diantara 30 September itu sampai hari sekarang. Semua Saudara-saudara telah mengikuti kedjadian-kedjadian itu. Dan Saudara mengetahui, bahwa sajapun ditempatkan kepada bermatjam-matjam desakan.. Desakan, desakan dari beberapa golongan, desakan daripada sebagian daripada Rakjat, djuga desakan-desakan daripada tugas-kewadjiban saja sebagai putjuk daripada negara. Desakan-desakan itu saudara semuanja sudah mengetahui, karenanjapun saja tidak akan sebutkan kepada Saudara-saudara desakan apa.

Saudara-saudara semuanja telah mengetahui sikap saja, bahkan mengetahui komando-komando jang telah saja perintahkan sedjak terdjadinja 30 September itu, jang pada pokoknja ialah bahwa Insja Allah saja akan mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasi segala akibat-akibat daripada kedjadian 30 September itu. Baik, tindakan-tindakan dilapangan hukum, maupun tindakan-tindakan jang mengenai penjelesaian daripada segala sesuatu jang bersangkutan dengan 30 September. Pokok-pokok inti komando saja jang pertama ialah bahwa saja menghendaki ketenangan. Dan didalam suasana ketenangan itulah saja dapat kemudian mendjalankan tugas saja sebagai hakim tertinggi dan sebagai penjelamat negara dan Revolusi. Komando saja untuk ditjiptakan selekas mungkin ketenangan kadang-kadang kurang diperhatikan orang, sehingga ketenangan jang saja kehendaki itu sampai pada saá t sekarang ini belum terlaksana.

Sudah saja katakan pada umum, bahwa saja tidak membenarkan kedjadian 30 September itu dan bahwa saja akan menghukum siapapun jang pembuat daripada kedjadian 30 September itu. Tetapi agar supaja saja bisa bertindak tepat maka saja komandokan ketenangan. Didalam ketenangan itu akan saja kumpulkan semua fakta-fakata mengenai 30 September itu, agar supaja nanti saja bisa bertindak sebagai hakim tertinggi dan agar supaja saja bisa mengadakan penjelesaian daripada peristiwa ini. Jang saja maksudkan ialah penjelesaian politik, oleh karena menurut kejakinan saja kedjadian 30 September bukan sekedar kedjadian 30 September, tetapi adalah suatu kedjadian politik didalam Revolusi kita.

Saja mendapat kesan, bahwa sebagian daripada bangsa kita dalam amarahnja terhadap kepada orang-orang jang mendjalankan 30 September itu melupakan keselamatan negara kita dan keselamatan Revolusi kita. Ter lalu sebagian daripada bangsa kita itu alam fikirannja, perasaan-perasaannja, dikonsentrirkan hanja kepada kedjadian 30 September tok. Dan djikalau kita berbuat, berpikir, bersikap demikian, kita kadang-kadang melupakan keselamatan negara dan keselamatan Revolusi.

Saja mendapat kesan, bahwa sebagian daripada bangsa kita ini bersikap sebagai berikut: Kita ini mempunjai rumah, didalam rumah kita itu kita mempunjai kuweh besar, katakanlah kuweh spekkoek atau kuweh talam. Kuweh spekkoek atau kuweh talam atau kuweh getuk. Kuweh ini pada satu saát digrogoti atau dimakan oleh tikus, oleh segerombolan tikus. Kemudian kita sudah barang tentu marah kepada tikus ini, dan kita mau sedikitnja menangkap tikus ini, kalau bisa malahan membunuh tikus ini. Tetapi dalam usaha kita untuk menangkap tikus ini atau membunuh tikus ini kita berbuat satu keslahan besar. Jaitu ada golongan-golongan jang mau membakar rumah ini sama sekali. Mau menangkap tikus atau mau membunuh tikus, seluruh rumahnja dibakar. Nah ini sudah njata satu sikap jang salah sekali. Kita dalam hendak menangkap tikus itu harus tetap menjelamatkan rumah, djangan kita merusak rumah, djangan kita membakar rumah ini. Inilah tamsil jang saja pakai untuk menggambarkan suasana dan kedjadian-kedjadian dikalangan rakjat jang Saudara-saudara pimpin sesudah 30 September itu.

Oleh karena itu maka saja kumpulkan Saudara-saudara pada hari ini...Marilah kita bersama-sama menjelamatkan rumah ini! Marilah kita djangan membakar-bakar rumah kita ini! Wadjarnja, marilah kita bersama-sama menjelamatkan negara kita ini! dan marilah kita bersama-sama menjelamatkan Revolusi kita ini! Djangan kita dalam kita hendak menangkap tikus itu membakar negara sendiri dan menjelewengkan Revolusi kita sendiri. Itulah keprihatinan saja diwaktu-waktu jang belakangan ini.< /DIV>

Dikalangan rakjat banjak sekali orang-orang jang hanja memikirkan tikus sadja.. Memikirkan hendak menangkap tikus itu sadja, tetapi tidak memperhatikan keselamatan rumah kita, negara kita, Revolusi kita. Tadinja -- dan bukan sadja tadinja, tetapi sampai sekarangpun dan Insja Allah seterusnja -- maka saja sendiri baik sebagai politikus, maupun sebagai Panglima Tertinggi, maupun sebagai Pemimpin Besar Revolusi, saja lebih mengutamakan jang ini: Negara dan Revolusi.

Kedjadian 30 September itu adalah satu kedjadian jang salah sekali dan harus dikoreksi. Tetapi kedjadian itu "is er al geweest". "Is er al geweest" artinja sudah terdjadi dan kita sekarang harus bertindak agar supaja negara kita dan Revolusi kita tetap selamat dalam kita mendjalankan tindakan pula untuk menghukum kedjadian jang "is al geweest" itu tadi, malahan bagi saja, untuk dapat menghukum kedjadian "is al geweest" itu sebagai satu ora ng jang bidjaksana, demikianlah streven saja. Saja akan dipersalahkan oleh Tuhan dan sedjarah, djikalau saja tidak bidjaksana.

Tadi misalnja saja didatangi oleh utusan-utusan dari Nahdatul Ulama dan dari Muhammadijah, jang saja mengutjap terima-kasih kepada mereka, bahwa mereka itu memperingatkan kepada saja akan firman Tuhan. Firman Tuhan jang berbunji: tiap-tiap kita ini adalah pemimpin. ada jang pemimpin negara, ada jang pemimpin famili, ada jang pemimpin sekolah, ada jang pemimpin kebun, ada jang pemimpin ini, ada jang pemimpin itu. Djadi tiap-tiap kita ini adalah pemimpin dan tiap-tiap kita ini nanti diachirat akan dilandrad oleh Tuhan tentang kepemimpinan kita. Saja akan dilandrad tentang kepemimpinan saja. Ali akan dilandrad tentang kepemimpinannja. Chaerul akan dilandrad tentang kepemimpinan Chaerul. Suharto akan dilandrad tentang kepemimpinannja. Kita semuanja akan dilandrad tentang kepemimpinan kita.
Oleh karena itu, jang memang itulah pendirian saja sedjak sebelum saja tadi diperingatkan oleh Nahdatul Ulama dan Muhammadiajah, saja selalu berhati-hati. Saja selalu mau bidjaksana. Saja tidak mau gegabah. Karena itu saja minta ketenangan. Dan didalam ketenangan itu saja akan selidiki dan peladjari sdalam-dalamnja segala fakta-fakta jang bersangkutan dengan 30 September ini. Fakta-fakta sebelumnja, fakta-fakta pada 30 September sendiri dan mengenai 30 September sendiri, fakta-fakta sesudahnja. Itu jang saja namakan proloog daripada 30 September, kemudian fakta 30 September itu sendiri, kemudian naloog atau epiloog daripada 30 September itu. Proloognja, het feit op zich zelfnja, dan naloog atau epoloognja daripada 30 September itu. Dan itu sedang saja selidiki, sedang saja peladjari. Dan saja hanja mungkin mendapat fakta-fakta dalam penjelidikan itu setjermat-thermatmja, djikalau keadaan tenang dan djikalau kita tidak membuat keadaan itu tidak tenang denga n tjara membakar-bakar sentimen, membakar-bakar emosi.

Saja sebagai Pemimpin Besar Revolusi, terutama sekali sebagai Pemimpin Besar revolusi, amat sedih dengan terdjadinja 30 September ini, sebab het feit 30 September op zich zelf adalah satu kedjadian, adalah satu perbuatan, adalah satu hal jang amat merugikan kepada Revolusi. Ketambahan pula didalam melihat epiloog, naloog daripada kedjadian 30 September ini, saja tambah sedih lagi.

Het feit 30 September op zich zelf sudah membuat saja sedih naloog atau epiloog daripada 30 September ini membuat saja lebih sedih lagi. Sebab apa ? Sebabnja ialah, bahwa ada golongan-golongan dikalangan Rakjat kita ini jang hanja memikirkan sitikus itu tadi, hendak menumpas sitikus itu tadi dan melupakan keselamatan negara dan Revolusi. Terutama sekali mengenai Revolusi kita. Dengan sedih saja melihat, bahwa Revolusi kita jang telah beberapa kali saja katakan, bahwa Re volusi kita adalah Revolusi kiri. Kiri karena apa ? Pantjasila op zich zelf is al kiri ! Apalagi djikalau kita memperhatikan Sila kelima daripada Pantjasila: Keadilan Sosial. Maka dengan tegas dan djelas saja katakan, bahwa Revolusi kita adalah revolusi kiri. Tetapi saja melihat sebagai epiloog daripada kedjadian 30 September itu, kalau kita tidak waspada, Revolusi ini menggeser kekanan. Dan djikalau Revolusi kita ini menggeser kekanan, maka saja berkata itulah malapetaka, jang besar sebesar-besarnja, lebih besar daripada kedjadian 30 September sendiri.

Karena itu saja memanggil Saudara-saudara, pemimpin-pemimpin daripada Rakjat Indonesia ini. Mari kita bersama-sama menjelamatkan kita-punja negara! Mari kita bersama-sama menjelamatkan Revolusi kita ! Mari kita bersama-sama mendjaga djangan Revolusi kita ini menggeser kekanan. Mari kita bersama-sama menetapkan Revolusi kita itu Revolusi kiri.

Didalam pidato saja kepada Pantja Tunggal seluruh Indonesia jang saja kumpulkan di Istana Negara beberapa hari jang lalu, saja telah djelaskan, bahwa sebagaimana biasa, sebagaimana biasa, bukan hanja di Indonesia, tetapi seluruh dunia, sesuatu kedjadian jang hebat membangunkan sentimenten, sentimenten pro, sentimenten tegen. Manusia adalah machluk jang mempunjai sentimen. Karena itu dimanapun, didjaman apapun, tiap-tiap kedjadian hebat disesuatu masjarakat membangunkan dimasjarakat itu sentimenten jang meluap-luap, sentimenten pro, sentimenten tegen. Dan djuga, Saudara-saudara, saja katakan didalam pidato saja terhadap Pantja Tunggal itu jang masing-masing Saudara mendapat bukunja, risalahnja, selalu orang, ada orang, ada golongan jang menunggangi kedjadian itu. Menunggangi untuk kepentingan pribadi, menunggangi untuk kepentingan golongan, menunggangi untuk kepentingan ideologi misalnja, Saudara-saudara, d an ini adalah satu hal jang normal. Bahkan boleh saja katakan satu hal jang baik, bahwa sekarang ini boleh dikatakan tiap-tiap orang memveroordeel 30 September itu. Tapi tjelakanja ialah bahwa veroordelen 30 September ini sering dipertunggangkan kepada kepentingan diri sendiri atau kepentingan golongannja atau kepentingan ideologi.

Tjontoh jang saja sebutkan didalam pidato saja pada Panja Tunggal itu, bahwa orang menunggangi kedjadian ini untuk kepentingan diri sendiri, saja mengenal satu perusahaan besar, jang oleh karena perusahaan itu adalah perusahaan negara, maka Presiden Direkturnja ditetapkan atau diangkat oleh Pemerintah. Didalam perusahaan itu jang Presiden Direkturnja sudah ditetapkan atau diangkat oleh Pemerintah, ada orang lain jang sebenarnja dia ingin sekali mendjadi Presiden Direktur daripada perusahaan itu. Banjak terdjadi . Zo'n abnormaal geval is het niet. Tetapi begitu 30 September terdjadi , begitu tiap-tiap oran g mengatakan , 30 September adalah perbuatan jang djahat, begitu keluar dengan pernjataan-pernjataan, seorang jang ingin mendjadi Presiden Direktur ini terus sadja melantjarkan tuduhan kepada Presiden Direktur jang sudah ada ini, bahwa dia tersangkut, bahwa dia dus harus dienjahkan sedikitnja, atau kalau bisa ja didjebloskan dalam pendjara. Ini adalah satu geval jang saja sendiri harus membereskan. Saja tahu, ini sebagai satu tjontoh bagi Saudara-saudara, penunggangan kedjadian 30 September untuk persoonlijk gewin atau persoonlijk belang.

Bahkan saja tahu satu kedjadian jang lebih lutju lagi, djuga satu perusahaan. Disitu ada dua orang jang bertentangan satu sama-lain. Pertentangannja itu apa? Si A dan si B ini bertentangan satu sama-lain didalam pimpinan daripada perusahaan ini oleh karena patjar si A ini is overgelopen naar B. Djadi A dan B sebetulnja rebutan awéwé. Begitu 30 September ini terdjadi, si A jang kehilangan p atjar itu mengadakan mengadakan pengaduan bahwa si B tersangkut 30 September. Satu tjontoh penunggangan lagi.

Apalagi dadalam kalangan golongan-golongan atau didalam kalangan politik. Wat is politiek? Politiek is een ideeënstrijd. Nah, didalam ideeënstrijd ini saja melihat gedjala-gedjala bahwa orang -- untuk memenangkan ideenja -- menunggangi kedjadian 30 September, dengan akibat jang amat merugikan pada negara ini. Karena itu saja selalu dari mulanja selalu berkata, djanganlah kita membakar-bakar sentimen, djanganlah kita membakar-bakar emoties. Saja minta ketenangan, ketenangan, ketenangan, ketenangan dan didalam ketenangan itu saja kumpulkan semua fakta-fakta, proloog, het feit op zich zelf, epiloog, dan Insja Allah sesudah daripada itu saja bisa mengadakan pendjelasan politik.

Dan sekarang saja mengundang Saudara-saudara, Pemimpin-pemimpin dari partai-partai, untuk membantu saja didalam hal ini, sebab Saudara-saudara bertanggung-djawab kepada partai-partai Saudara-saudara, 'tetapi lebih daripada itu' Saudara-saudara bertanggung-djawab kepada keselamatan Negara dan keselamatan Revolusi. Negara kita harus tetap tegak-kuat, terutama sekali manakala kita sekarang ini berhadap-hadapan dengan nekolim, terutama sekali manakala kita sekarang ini sedang mendjalankan konfrontasi, jang konfrontasi itu betul-betul adalah satu vivere pericoloso. Kita harus djaga djangan negara ini mendjadi retak atau mendjadi lemah atau mendjadi kurang kuat. Dan kekuatan negara mutlak tergantung daripada kesatuan antara kita dengan kita.

Untuk itulah, Saudara-saudara, agar supaja negara kita ini kuat dan agar supaja Revolusi ini berdjalan lantjar, saja sedjak tahun '26 telah lanceren idee Nasakom. Tatkala saja masih pemuda, umur 25 tahun, saja telah menulis artikelenreeks saja jang sekarang termasjur, tertjetak dalam kitab "Dibawah Bendera Revolusi", jang pokoknja ada lah Nasakom. Tetapi, Saudara-saudara, sebagai epiloog daripda kedjadian 30 September ini saja melihat bahwa Nasakom itu terantjam bahaja. Tetapi sjukur Alhamdulillah, sesudah saja memberi penerangan, bahaja petjahnja Nasakom ini sudah berkurang, jaitu tatkala saja memberi penerangan bahwa Nas itu tidak berarti Ali Sastroamidjojo atau P.N.I, atau Asmarahadi atau Partindo, A itu tidak berarti Idham Chalid atau Nahdatul Ulama, atau Frans Seda atau Partai Katolik, atau Badawi atau Muhammadijah, atau Jo Leimena atau Parkindo, dan bahwa Kom itu tidak berarti Aidit atau P.K.I.. Nas dan A dan Kom, ketiga-tiganja adalah roman-muka realitas daripada Revolusi kita ini.

Revolusi kita jang kita namakan revolusi pantjamuka -- revolusi nasional, revolusi politik, revolusi ekonomi, revolusi sosial, revolusi kultur, bahkan revolusi pembangunan manusia baru Indonesia -- Revolusi ini tidak bisa lain daripada beroman-muka Nas dan A dan Kom. Revolusi nasional tid ak bisa berdjalan dan tidak bisa ada sebagai revolusi nasional tanpa rasa-rasa nasionalisme. Revolusi kultur dalam arti bukan sadja kultur jang berkepribadian, tetapi dalam arti keigamaan, sebab igama adalah sebagian daripada kultur, tak mungkin ada djikalau tidak ada A. Ikut sertanja A didalam Revolusi kita itu adalah satu realitas dan satu Notwendigheid, oleh karena Revolusi kita menghendaki kultur baru, kultur dalam arti jang seluas-luasnja, jaitu mengenai agama djuga. Demikian pula Revolusi kita ini, sebagai hasil kebangkitan daripada rakjat jang tertindas perutnja, rakjat jang tertindas kehidupan materiil sehari-harinja, tidak bisa lain daripada satu revolusi jang mempunjai socialistische aspiraties. Revolusi kita bukan satu revolusi burgerlijk, tidak , Revolusi kita adalah revolusi rakjat jang perutnja tertindas, revolusi rakjat jang materiilnja tertindas. Dan rakjat jang perutnja tertindas, materiilnja tertindas, tidak bisa lain daripada mempunjai, be rangan-angan sosialisme. Ingin perutnja penuh, ingin materieele verhoudingennja lajak. Dus Kom atau Marxisme atau Sosialisme adalah satu unsur roman-muka-riil daripada Revolusi kita ini.

Oleh karena itu, als geheel genomen, saja berkata, Revolusi kita ini adalah revolusi kiri. Tetapi dengan sedih saja melihat, sekarang ini ada gedjala-gedjala penggeseran Revolusi kita ini kearah kanan dan sebagai kukatakan tadi, djikalau penggeseran ini berlangsung terus, itu adalah satu malapetaka jang terbesar, bagi bangsa Indonesia.

Saudara-saudara sebagai pemimpin daripada Rakjat Indonesia, pemimpin dari partai-partai Indonesia, saja undang Saudara-saudara untuk mendjaga djangan Revolusi kita ini verrechtst atau verrechtsen, djangan revolusi kita ini mendjadi satu revolusi jang tidak mentjerminkan Amanat Penderitaan Rakjat.

Nou, sesudah saja memberi keterangan ini, Saudara-saudara, sedjak bebe rapa hari jang lalu saja melihat, nou beginnen de meesten het een beetje te snappen. Ketenangan sudah mulai, mulai terdjadi, tetapi belum seluruhnja, malahan dibeberapa aspek menjala-njala kekatjauan.

Tjoba, Saudara-saudara, apa kata Saudara-saudara tentang kedjadian-kedjadian di Djawa Timur, di Djawa tengah, mengenai pembakaran-pembakaran? Misalnja -- saja bilang misalnja oleh karena tidak hanja mereka jang kena -- misalnja orang-orang Tionghoa. Entah siapa jang dari Djawa Timur. Saja dapat laporan, misalnja dari Surabaja sampai ke Banjuwangi -- dat is me nog al een afstand, saudara-saudara -- dibeberapa tempat terdjadi rasialisme, malah agak setjara overdreven Panglima Safiudin dari bali berkata: Pak, antara Surabaja dan Banjuwanmgi dimana-mana plat gebrand. Saja tadi berkata, ini rupanja ja sedikit overdreven, tetapi sedikitnja benar bahwa antara Banjuwangi dan Surabaja itu dibebearapa tempat, dibanjak tempat terdjadi rasialisme.

Apa jang Saudara katakan, tentang kedjadian di Sala? Siapa dari Sala, saja tidak tahu. Djendral harto sendiri, Achmadi, Muljono Herlambang. Kalau Achmadi itu sudah mendjadi orang Tjibulan..... Tjoba di Sala, Saudara-saudara, apa jang terdjadi beberapa hari jang lalu? Verschrikkelijk, rasialisme berkobar-kobar disana dan apa jang dinamakan wraak op muizen, verschrikkelijk.

Nah, karena itu saja minta kepada Saudara-saudara, apa jang saja katakan kepada Menteri-menteri, dan kepada semua Pantja Tunggal, saja ulangi padamu: Pemimpin-pemimpin partai, verlies je kop niet, verlies je kluts niet, tetaplah djaga keselamatan negara dan keselamatan Revolusi! Segala usaha daripada nekolim dan C.I.A. harus kita awasi, Saudara-saudara, sebab nekolim dan C.I.A. is daarom nekolim en C.I.A. Artinja, kalau mereka tidak berusaha untuk menghantjurkan kita, merugikan kita, memetjahkan kita, bukan nekolim, bukan C.I.A. Awas, Saudara-saudara, awas, djangan kitapun ditunggangi oleh nekolim atau C.I.A. ini. Dan saja berkata kepada Saudara-saudara, mereka itu begitu lihaynja sehingga kalau umpamanja, kita ini ditunggangi, dat wij niet eens voelen, bahwa kita ini ditunggangi. Tjara menungganginja itu bukan main lihaynja. Saudara-saudara, mereka mempunjai pengalaman puluhan tahun tentang hal ini. Sedikitnja kalau kita tidak sedar ditunggangi, kita ini er fijn ingelopen. Nah itu, perkataan je bent er in gelopen.

Nah ini kita mesti djaga, djangan kita er in lopen, djangan kita ditunggangi. Paling berbahaja itu, kita ditunggangi tanpa kta merasa dan mengetahui bahwa kita ditunggangi. Batja kitab-kitab jang memebeberkan segala rahasia nekolim, batja "The Invisible Government", batja "C.I.A." tulisan Andrew Tulley, batja "The Ambassador" tulisan Maurice West. O, disitu kelihatan betul kelihayan mereka itu. Dan kita sebagai pemimpin Rakjat, Saudara-saudara, kita harus hati-hati dan waspada s ekali. Sekarang Bandrio ini misalnja, o God, o God, o God, dia sekarang sudahlah, dikatakan ini dikatakan itu oleh nekolim. Saja bisa kata ini, oleh karena saja bergaul, bertemu dengan ambassador-ambassador di Djakarta ini. Tidak sedikit ambassador datang kepada saja, apakah benar Presiden, is it true that you are going to dismiss Subandrio? Bahwa Tuan akan melepas Subandrio? Malahan ada jang berkata, Roeslan; that you are going to dismiss and make Roeslan Abdulgani Foreign Minister? Apa sebab? Oleh karena nekolim memang sering mendapat tentangan dari dia, boleh dikatakan djarang ada Menteri Luar negeri didunia ini lho jang begitu gigih menentang nekolim, sebagai kita-punja Menteri Luar negeri Subandrio. Nah, sudah barang tentu, nekolim wenst hem er uit, nekolim mengatakan segala sesuatu jang tidak baik tentang Subandrio.

pendek kata, Saudara-saudara, saja minta kepada Sudara-saudara, marilah kita semuanja merasa bertanggung-djawa b kepada negara dan kepada Revolusi. Saja telah berkata, saja minta ketenangan, saja kumpulkan semua fakta-fakta proloog, het feit op zich zelf, epiloog atau naloog, dan Insja Allah, djikalau Tuhan memberi kepada saja, saja adakan nanti tindakan berdasarkan atas penjelidikan jang objectif dan njata ini.

Saja harap, Saudara-saudara semuanjapun berdiri tegak dibelakang saja. Apa sebab? Saudara-saudara sendiri menulis didalam pernjataan Saudara-saudara, berdiri tegak dibelakang Pemimpin Besar Revolusi, setia kepada Pemimpin Besar Revolusi. Wel, saja sekarang nagih kepada Saudara-saudara, kalau Saudara-saudara benar-benar berdiri dibelakang saja, taát kepada saja, setia kapada saja, djalankan perintah saja. Bukan sadja itu, djangan djegal perintah saja. Sebab saja di Pantja Tunggal seluruh Indonesia djuga sudah berkata dengan tegas, kadang-kadang saja ini mendapat indruk, kesan, ja orang berkata: Bung Karno, Bung Karno, setia kepada Bung Karno , berdiri dibelakang Bung Karno, tetapi perintah Bung Karno, komando Bung Karno dikentuti, kataku. Ja, perkataan kentut itu sampai-sampai Presiden mau tjoret daripada buku ini.

Saja minta Saudara-saudara betul-betul berdiri dibelakang saja, oleh karena Saudara-saudara mengangkat saja sebagai Pimpin Besar revolusi, oleh karena Saudaralah jang mengangkat saja via M.P.R.S. mendjadi Presiden seumur hidup, oleh karena Saudara-saudarapun menjatakan recently ini berdiri dibelakang Bang Karno, setia kepada Bung Karno, saja nagih sekarang. Djalankan komando saja, bantulah saja, djangan djegal kepada saja. Semua komando saja, djalankan!

Saudara-saudara, dan sebagai kalimat terachir daripada uraian saja ini nanti, jang nanti akan saja minta ditambah oleh anggota Presidium, saja ulangi, sajapun selalu takut kepada hari kemudian, sajapun selalu in me zelf prenten: Sukarno, engkau adalah pemimpin, sebagaimana semua o rang pemimpin, nanti dihari kemudian engkau akan dilandrad tentang kepemimpinannmu. Tentang hal itu, Saudara-saudara, bolehlah Saudara-saudara jakin, saja tidak gegabah, saja betul-betul takut kepada laatste oordeel itu nanti, takut kepada landratan jang akan didjalankan atas diri saja di hari achirat.

Bung Karno Bercerita Tentang Masa Kecilnya......

Gambar atas : Sukarno Tanpa Petji.


Surabaja: Dapur Nasionalisme
DARI djenis binatang prasedjarah jang digali dikepulauan kami, ahli-ahli purbakala membuktikan bahwa setengah djuta tahun jang lalu pulau Djawa sudah didiami orang. Kebudajaan kami adalah kebudajaan purba. Bukalah buku Ramayana. Didalamnja orang akan membatja keterangan mengenai ,,Negeri Suarna Dwipa jang mempunjai tudjuh buah keradjaan besar". Suarna Dwipa, jang berarti pulau-pulau emas, adalah nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam tjerita-tjerita klasik Hindu duaribu limaratus tahun jang lalu.Dari abad kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwidjaja sampai abad keempatbeias waktu negeri kami bernama Madjapahit, kami punja ,,negeri jang terkenal makmur telah mentjapai tingkatan ilmu jang demikian tinggi sehingga mendjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh dunia-beradab". Demikianlah keterangan jang terdapat dalam surat-surat-gulung-perkamen jang berharga dari negeri Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudajaan seluruh Asia.

Negeri kami masih tersohor dalam lingkungan internasional ketika Christopher Columbus mentjari kepulauan. Rempah-rempah gugusan pulau-pulau jang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama Columbus tidak berlajar mentjari djahe, buah-pala, lada dan tjengkeh kami dan tidak sesat pula didjalan, tentu dia tidak akan menemukan benua Amerika. Ketika djalan laut menudju Hindia achirnja ditemukan orang, modal asing mengerumuni pantai kami, seperti semut mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco'da Gama. Dari negeri Belanda Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik-tanda dimulainja ,"Revolusi Perdagangan" di Eropa.

Kapitalisme ini tumbuh hingga ia mengenjangkan lapangan eksploitasi dalam masjarakat mereka sendiri. Barang-barang jang sebelumnja diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; djadi Timur mendjadi pasar-pasar tambahan untuk barang-barang berlebih. Daerah Timur mendjadi suatu pasar untuk modal berlebih jang tidak lagi bisa memperoleh djalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu membawa Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dulu negara itu harus ditaklukkan. Pedagang pedagang mendjadi penakluk; bangsa-bangsa Asia-Afrika didjadjah dan kelobaan ini membuka pintu kepada djaman Imperialisme. Djawa diduduki diabad ke 16; Maluku diabad ke 17 dan lambatlaun Negeri Belanda menguasai kepulauan kami setjara berturut-turut hingga ke Bali jang baru dikuasai ditahun 1906. Dengan tjepat kekuasaan asing menanamkan akar-akarnja. Mereka mengambil kekajaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera-puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa jang Besar jang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, mentjiptakan tari. Kami tidak lagi dikenal oleh dunia luar, ketjuali oleh penghisap-penghisap dari Barat jang mentjari kemewahan di Hindia. Akibat daripada Imperialisme sungguh djahat sekali. Orang laki-laki diambil dari rumahnja dan dipaksa mendjadi budak dipulau-pulau jang djauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia. Perempuan-perempuan dipaksa bekerdja dikebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan pekerdjaannja, sekalipun melahirkan pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah jang lunak dan murah terbuat dari katjang kedele jang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri jang lemah. Itulah kami djadinja. Kami terus-menerus dikatakan sebagai bangsa jang mempunjai otak seperti kapas. Kami mendjadi pengetjut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun jang kami lakukan selalu salah. Kaml mendiadi rakjat seperti dodol dengan hati jang ketjil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami mendjadi suatu bangsa jang hanja dapat membisikkan, ,,Ja tuan"Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka pegang teguh setjara tidak sadar.

Hal itu menjebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita dari kabinetku selalu menjediakan djuadah makanan Eropa. ,,Kita mempunjai penganan enak kepunjaan kita sendiri," kataku dengan marah.

"Mengapa tidak itu sadja dihidangkan ?" ,,Ma'af, Pak," kata mereka dengan penjesalan ,,Tentu bikin maIu kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita jang melarat."

Ini adalah suatu pemantulan kembali dan pada djaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah-diri kami jang telah berabad-abad umurnja kembali memperlihatkan diri. Edjekan jang terus-menerus dipompakan oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidak-mampuan kami, menjebabkan kami jakin akan hal tersebut. Dan kejakinan bahwa engkau bangsa jang hina, lagi bodoh adalah suatu sendjata jang ada dalam tangan pendjadjah. lmperialisme adaIah kumpulan kekuatan djahat jang nampak dan jang tidak nampak. Penindasan jang sudah demikian lama dirasakan menjebabkan bangkitnja suatu masa para pelopor.

Sun Yat Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok ditahun 1885. Kongres Nasional India: ditahun 1887. Aguinaldo dan Rizal membangkitkan Filipina. ditahun-tahun permulaan abad ke-20. Seluruh Asia bangkit dan diabad keduapulah jang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terdjadi lagi, maka bangsa Indonesia jang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini. Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Djawa menjusun partai nasional jang pertama dengan nama ,,Budi Utomo", jang artinja ,,Usaha jang Sutji". Ditahun 1912 organisasi ini memberi djalan kepada Sarekat Islam jang mempunjai anggota sebanjak dua-setengah djuta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro Aminoto. Bangsa Indonesia jang menderita setjara perseorangan sekarang mulai menjatukan diri dan persatuan nasional mulai tersebar. Ia lahir di Djakarta,akan tetapi sang baji baru pertamakali melangkahkan kakinja di Surabaja.

Ditahun 1916 maka Surabaja merupakan kota pelabuhan jang sangat sibuk dan ribut, lebih menjerupai kota New York.

PeIabuhannja baik dan mendjadi pusat perdagangan jang aktif. Ia mendjadi suatu kota industri jang penting dengan pertukaran jang tjepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau, kopi. Ia mendjadi kota tempat perlombaan dagang jang kuat dan orang-orang Tionghoa jang tjerdas ditambah dengan arus jang besar dan para pelaut dan pedagang jang membawa berita-berita dari segala pendjuru dunia. Penduduknja semakin bertambah, terdiri dari pekerdja pelabuhan dan peketdja bengkel jang masih muda-muda dan jang bersemangat menjala-njala.la mendjadi kota dimana bergolak persaingan, pemboikotan, perkelahian didjalan-djalan. Kota itu bergolak dengan ketidak-puasan dari orang-orang revolusioner. Ketengah-tengah kantjah jang mendidih demikian itulah seorang anak-ibu berumur 15 tahun masuk dengan mendjindjing sebuah tas ketjil. Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Jaitu Pak dan Bu Tjokro, anak-anaknia Harsono jang 12:tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, puteri mereka Utari lima tahun lebih muda dan seorang baji , Pak Tjokro semata-mata bekerdja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannja tidak banjak. Dia tinggal dikampung jang penuh sesak tidak djauh dari sebuah kali. Menjimpang dari djalanan jang sedjadjar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri-kanannja dan ia terlalu sempit untuk djalan mobil. Gang kami namanja Gang 7 Peneleh. Pada seperempat djalan djauhnja masuk kegang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviljun setengah melekat. Rumah itu dibagi mendjadi sepuluh kamar-kamar ketjil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Tjokro tinggal didepan; kami jang bajar-makan dibelakang. Sungguhpun semua kamar sama melaratnja, akan tetapi anak-anak jang sudah bertahun-tahun bajar-makan mendapat kamar jang namanja sadja lebih baik. Kamarku tidak pakai djendela samasekali. Dan tidak berpintu. Didalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sekalipun disiang hari.

Duniaku jang gelap ini mempunjai sebuah medja gojah tempatku menjimpan buku, sebuah korsi kaju, sangkutan badju dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaja diwaktu itu sudah menikmati kemegahan lampu listrik. Setiap kamar mempunjai fitting dan setiap pembajar-makan membajar ekstra untuk lampu. Hanja kamarku jang tidak punja. Aku tidak punja uang untuk membeli bolanja. Aku beladjar sampai djauh malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi balai-balai dan supaja terhindar dari njamuk. Kamar itu ketjil seperti kandang-ajam. Tidak ada udara segar dan mendjadi sarang serangga. Akan tetapi karena tak ada orang lain jang mau tinggal denganku dikamar jang gelapi itu, maka setidak-tidaknja aku dapat memilikinja untuk diriku sendiri.

Sewanja 11 rupiah, termasuk makan. Atau setjara perhitungan kasarnja empat dollar sebulan. Bapak mengirimiku uang duabelas rupiah setengah, dengan sisanja limapuluh sen untuk uang-saku. Ditahun 1917 bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan kenaikan djabatan, nasib bapak berobah sedikit. Oleh sebab itu ia dapat mengirimiku f 1,50 untuk uang-saku setiap bulannja. Memang sukar bagi seorang inlander untuk memasuki H.B.S. Disamping f 15,00 sebulan untuk uang-sekolah dan pet seragam bertuliskan H.B.S., kami harus membajar lagi f 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku ingat betul djumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnja. Kudjaga agar djangan ada jang terpakai setjara tidak disengadja.

Walaupun aku anak jang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanja kalau dalam kesempitan sadja. Kukira ini sama sadja dengan setiap anak muda, bukan ? Dengan tidak usah membuka-surat-suratku terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinja, bahwa si Karno minta uang. Suratku kepada orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis jang itu-itu djuga dan tidak pernah berobah-robah: ,,Bapak dan lbu jang tertjinta' saja berada dalam keadaan sehat-sehat sadja dan harapan saja tentu agar Bapak dan Ibu keduanja demikian pula hendaknja." Kemudian setelah salam itu, dibaris jang ketiga aku langsung menjampaikan maksud jang terpenting. Aku menulis, ,,Sekarang saja sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat mengirimi barang sedikit ?"Disamping ibuku jang penjajang itu selalu mengirimiku setjara diam-diam satu atau dua rupiah bila ia punja uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer dari Surabaja dan Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos pulang. Karena uang itu tidak habis semua untuk ongkos perdjalanan, maka aku sering menemui mereka. Pak Poegoeh enam tahun lebih tua daripadaku dan bekerdja dikantor irigasi dari Departemen Pekerdjaan Umum. Sekalipun kami seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanja setjara terang-terangan. Tjara orang Djawa kebanjakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku jang menjampaikannja pula kepadanja. Dan permintaan ini kupikirkan lebih dulu semasak-masaknja.

Aku tak pernah meminta diluar batas jang kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah. Sebagai hasil dari kebidjaksanaan sematjam ini aku kadang-kadang mendapat lebih dari pada jang kuminta. Terasa hari Iibur sangat menjenangkan apabila hadiah itu datang karena aku lalu bisa mendjamu kawan-kawanku dengan kopi atau djadjan. H.B.S. terletak satu kilometer dari Gang Paneleh Setiap anak mempunjai sepeda. Aku sendiri jang tidak. Biasanja aku membontjeng dengan salah seorang kawan atau berdjalan kaki. Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers jang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnja bagai seorang ibu. Ia kugosok-gosok. Kupegang-pegang. Kubelai-belai. Pada suatu kali Harsono jang berumur tudjuh tahun setjara diam-diam memakai sepedaku itu dan menabrakkannja kepohon kaju. Seluruh bagian mukanja patah. Harsono ketakutan. Ia tidak berani mengatakan padaku, dan ketika aku mendengar berita itu, kusepak pantatnja dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu-minggu lamanja aku tergontjang oleh Fongersku jang hitam mengkilat itu jang sekarang sudah bengkok-bengkok. Achirnja aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi sepeda jang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam seminggu aku menikmati satu-satunja kesenanganku Film, Aku sangat menjukainja. Betapapun, tjaraku menonton sangat berbeda dengan anak-anak Belanda. Aku duduk ditempat jang paling murah. Tjoba pikir, keadaanku begitu melarat, sehingga aku hanja dapat menjewa tempat dibelakang lajar. Kaudengar ? Dibelakang lajar ! ! Diwaktu itu belum ada film bitjara, djadi aku harus membatja teksnja dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda ! lama-kelamaan aku mendjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat dengan tjepat membatja teks itu dari kanan kekiri. Aku tidak peduli, karena tak ada tjara lain lagi. Bahkan aku bersjukur karena masih bisa menjaksikannja. Saat satu-satunja jang menjebabkan aku ketjewa ialah, bila dipertundjukkan film adu-tindju. Aku samasekali tak dapat menaksir, tangan siapa jang melakokan pukulan.

Dimasa itu ,,Yankee Doodle" jang mendjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnja pada tiap istirahat dan sambil duduk seorang diri dalam gelap dibelakang lajar aku menjanjikannja dengan lunak untuk diriku sendiri. Sampai sekarang aku masih menjanjikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang kekota kami. Dalam pertundjukan itu mereka melepaskan merpati-merpati dan kalau ada jang hinggap dibahu seseorang, itulah jang memenangkan hadiah. Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu hinggap pada teman kami, jang sama-sama bajar-makan, hadiahna seekor kuda. Djadi berkupullah kami Suarli pemenang jang beruntung itu, kami pemuda lainnja sebanjak setengah lusin dan seekor kuda tua jang sudah letih. Kami tidak dapat akal akan diapakan kuda itu. Tapi kami harus membawanja keluar, karena itu kami bawa ia pulang. Dibagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada djalan untuk bisa sampai ketempat itu ketjuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dan rumah Pemimpin Besar Rakjat Djawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar-duduk, terus kehalaman belakang dimana ia ditambatkan kebatang sawo. Tak seorangpun diantara kami jang punja uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu kepunjaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli mendjualnja. Ketjuali satu sirkus dan film, masa itu bukanlah masa jang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunjai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti iang dialami oleh anak-anak sekolah iang lain. Mungkin apa jang dinamakan tindakan kegila-gilaan sebagaimana jang dituduhkan kepadaku· sekarang, adalah sematjam imbangan untuk mengedjar kerugian dimasa muda. Tidak ada kesenangan-kesenangan jang menjegarkandalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan jang kutjari sekarang mungkin sebagai usahaku untuk-menutupi segala sesuatu jang tidak pernah kunikmati dimasa muda, sebelum waktunja terlambat. Aku tidak tahu dengan pasti. Aku- tak pernah memikirkannja hingga datang waktunja bagiku untuk mendjalankan pembedahan diri dengan djalan otobiografi ini. Bagaimanapun-djuga, ini adalah pertjakapan antara kita antara engkau, pembatja, denganku. Dan karena aku-berbitjara dan gelora hati jang meluap-luap, kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku dimasa jang silam, aku merasa mungkin djuga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi kekurangan diriku sendiri sekarang. Pendeknja, aku tidak mengalami masa senang di Surabaja. Pada waktu aku mula datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat kehilangan ibu tak dapat kutjeritakan-kepadamu betapa Wanita senantiasa memberikan pengaruh jang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punja ibu, tidak ada nenek untuk membudjukku jang selamanja mengagumiku — tidak ada Sarinah jang dengan tekun mendjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang wanita jang manis dengan perawakan ketjil bagus. Dia sendirilah jang mengumpulkan uang makan kami saban minggu. Dialah jang membuat peraturan seperti: (l) Makan malam djam sembilan dan barangsiapa jang datang terlambat tidak dapat makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada dikamarnja djam 10 malam. (3) Anak sekolah harus bangun djam empat pagi untuk beladjar. (4) Main-main dengan anak gadis dilarang. Aku memelihara hubungan rapat dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku sebagai seorang ibu. Karena memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada Mbok Tambeng, perempuan pembantu rumahtangga, untuk menghiburku. Dia mendjadi pengganti ibuku. Dia menambal tjelanaku. Dia tahu bahwa gado-gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka menjusupkan ekstra untukku. Mbok sajang kepadaku, tapi ah ! aku sangat merindukan kasih-sajang itu. Masih sadja si Mbok tidak bisa mendjadi penghibur jang tjukup bagi seorang anak jang halus perasaannja. Djiwaku mendjerit-djerit mentjari kepertjajaan hati, bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh. Pak Tjokro bukanlah orangnja. Seorang pemimpin hanja tertarik pada soal-soal politik. Bahunja bukanlah tempat bersandar untuk menangis. Atau tangannja bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak.Sekalipun demikian Pak Tjokro sangat senang kepadaku. Kasih sajangnja ini dinjatakannja terutama dimusim kemarau tahun 1918. Biasanja aku pulang mengundjungi orangtuaku dalam waktu libur. Dalam dua bulan libur tinggal di Blitar aku merentjanakan pergi ketempat kawan-kawan untuk sehari di Wlingi, jang djaraknja 20 kilometer dari Blitar.

Semua rentjana telah disiapkan dan dengan keinginan jang besar menghadapi tudjuan aku melambai kepada bapak, mentjium ibu dan memulai perdjalananku. Aku baru sadja sampai dirumah kawan kawanku ketika bahana menggemuruh jang menakutkan memenuhi angkasa dan tanah bergontjang-gontjang dibawah kakiku. Perempuan-perempuan tua jang ketakutan, anak-anak jang mendjerit dan para pekerdja jang letih oleh membanting-tulang terpentjar keluar dari pondok-pondok mereka menudju kampung jang penuh sesak. Ketakutan, kebingungan dan kekatjauan menghinggapi rakjat kampung.

Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mentjari saat itu untuk menundjukkan kemurkaan dari Dewa-dewa. Langit mendjadi hitam oleh arang dan abu bermil-mil djauhnja. Dimana-mana ledakan lahar. Daerah itu diselubungi oleh asap, api dan ratjun. Dengan kekuatan jang hebat lahar jang mendidih-didih mentjurah menuruni lereng gunung ketempat jang lebih rendah dan menggenang disana antara Blitar dan Wlingi. Banjak orang jang mati.Aku sangat kuatir karena kutahu orangtuaku tentu sangat susah memikirkan diriku …….Hidupkah dia ……..Matikah dia.

Mereka sadar, bahwa anaknja berada tepat didjalan dimana gunung itu memuntahkan isinja dan mereka tidak dapat memperoleh berita. Sementara itu aku mendengar, bahwa separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran tentang apakah jang mungkin terdjadi terhadap orangtuaku. Aku harus kembali setjepat mungkin, akan tetapi tidak ada kendaraan jang bagaimanapun bentuknja jang dapat menjeberangi lautan lahar jang menggelora itu. Achirnja, satu-satunja djalan jang harus ditempuh ialah dengan mengarunginja berdjalan kaki. Selagi lahar masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menudju djalan pulang. Aku masih djauh ketika mereka menampakku, lalu datang berlari-lari menjongsongku ditengah djalan. Mereka memelukku. Mereka mentjiumku. Mereka mengelus pipiku. ,,0, engkau masih hidup," teriak bapak. ,,Engkau masih hidup engkau masih hidup." Ibu menangis. Aku merangkul orangtuaku dengan kedua belah tanganku. Aduh, kami gembira, gembira sekali bertemu satu sama lain.

Di Surabaja, Pak Tjokropun rupanja merasa tjemas memikirkan keadaanku. Ia menaiki mobilnja dan melakukan perdjalanan sehari penuh hanja karena hendak mengetahui bagaimana keadaanku. Mula-mula ia tidak dapat menemuiku atau orangtuaku. Rumah kami selamat, akan tetapi rumah itu sudah mendjadi tumpukan lahar dan lumpur. Sampai di Djalan Sultan Agung 53 ia hanja mendapati rumah kosong samasekali. Ketjuali beberapa ekor burung-burung ketjil. Ia djadi sangat bingung sebelum bertemu dengan kami. Djadi aku menjadari bahwa Pak Tjokro mentjintaiku dengan tjaranja sendiri. Hanja tjaranja itu tidak tjukup bagi seorang anak jang kesepian. Ia djarang berbitjara denganku. Bahkan aku djarang melihatnja. Ia tidak mempunjai waktu jang senggang. Kalau ia dirumah tentu ada tamu atau ia bersamadi dalam kesunjian.

Oemar Said Tjokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaja. Pak Tjokro mengadjarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa jang ia ketahui ataupun tentang apa djadiku kelak. Seorang tokoh jang mempunjai daja-tjipta dan tjita-tjita tinggi, seorang pedjoang jang mentjintai tanah tumpah darahnja. Pak Tjokro adalah pudjaanku. Aku muridnja. Setjara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinja dan diberikannja kepadaku buku-bukunja, diberikannja padaku miliknja jang berharga Ia hanja tidak sanggup memberikan kehangatan langsung dari pribadinja kepada pribadiku jang sangat kuharapkan. Karena tak seorangpun jang mentjintaiku seperti jang kuidamkan, aku mulai mundur. Kenjataan-kenjataan jang kulihat dalam duniaku jang gelap hanjalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri kedalam apa jang dinamakan orang Inggris ,,Dunia Pemikiran". Buku-buku mendjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan jang terdapat diluar. Dalam dunia kerohanian dan dunia jang lebih kekal inilah aku mentjari kesenanganku. Dan didalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira. Selurah waktu kupergunakan untuk membatja. Sementara jang lain bermain-main, aku beladjar. Aku mengedjar ilmu pengetahuan disamping peladjaran sekolah. Kami mempunjai sebuah perpustakaan jang besar dikota-ini jang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnja buat seorang anak jang miskin. Aku menjelam samasekali kedalam dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka mendjadi buah pikiranku. Tjita-tjita mereka adalah-pendirian dasarku. Setjara mental aku berbitjara dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia. karena dia bertjeritera kepadaku tentang Declaration of Independence jang ditulisnja ditahun 1776. Aku memperbintjangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku mendalami lagi perdjalanan Paul Revere. Aku dengan sengadja mentjari kesalahan-kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat mempersoalkan hal ini dengan dia.Pada waktu sekarang, apabila ada orang menegur, ,,Hai Sukarno, mengapa engkau tidak suka kepada Amerika ?" maka aku akan mendjawab, ,,Apabila engkau mengenal Sukarno, engkau tidak akan -mengadjukan pertanjaan itu.? Masa mudaku kupergunakan untuk memudja bapak-bapak perintis dari Amerika Aku ingin berlomba dengan pahlawan-pahlawannja. Aku mentjintai rakjatnja. Dan aku masih mentiintainja. Bahkan sekarangpun aku masih membatja madjalah Amerika dari ,,Vogue" sampai ke ,,Nugget'..Aku akan selalu merasa berkawan dengan Amerika. Ja, berkawan. Aku mengatakannja setjara terbuka Aku menuliskan tentang diriku sendiri. Kunjatakan ini dengan tertjetak. Suatu pendirian dasar seperti jang kumiliki takkan dapat membiarkanku tidak berkawan dengan Amerika. Didalam dunia pemikiranku akupun berbitjara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb jang mendirikan Gerakan Buruh Inggris aku berhadapan muka dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari Austria. Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau' Aristide Briand' dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sedjarah Perantjis. Aku meneguk~semua tjerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnja adalah Voltaire. Aku adalah Danton pedjoang besar dari Revolusi Perantjis. Seribu kali aku menjelamatkan Perantjis seorang diri dalam kamarku iang gelap. Aku mendjadi tersangkut setjara emosionil dengan negarawan-negarawan ini. Disekolah kami mendengarkan peIadjaran tetntang pengadilan rakiat dari bangsa Junani kuno. Ia melekat dalam pikiranku. Aku membajangkan pemikir-pemikir jang sedang marah selagi berpidato dan meneriakkan sembojan-sembojan seperti ,,Persetan dengan Penindasan" dan ,,Hidup' Kemerdekasn". Hatiku terbakar menjaIa-njala. Macam itu, ketika semua orang sudah menguntji pintu, kamar kandang-ajamku mendiadi ruang-pengadilan aku sebagai seorang pemuda Junani jang terbakar oleh enthusiasme. Sambil berdiri diatas medjaku jang gojah aku ikut terbawa-oleh perasaan. Aku mulai berteriak

Selagi aku berpidato dengan sangat keras kepada tak seorangpun, kepala-kepala berdjuluran keluar pintu, mata bertondjolan dari kepala dan terdengar suara anak-anak muda berteriak dalam gelap' ,,Hei, No,' kau gila ? Ada apa….Hei, apa kau sakit ?" dan kemudian tukang-tukang sorak itu kembali pada djawabannja sendiri, ,,Ah, tidak ada apa-apa. Tjuma si No mau menjelamatkan dunia lagi" dan satu demi satu pintu-pintu menutup lagi dan membiarkan aku sendiri dalam kegelapan. Pada waktu aku semakin mendekati kedewasaan, duniaku didalam semakin lebar dan mentjakup pula kawan-kawan dari Tjokroaminoto. Setiap hari para pemimpin dari partai lain atau pemimpin tjabang Sarekat Islam datang bertamu. Dan setiap kali mereka tinggal selama beberapa hari. Sementara kawan-kawanku serumah keluar menjaksikan pertandingan bola, aku duduk dekat kaki orang-orang ini dan mendengarkan. Kadang-kadang kubagi tempat-tidurku dengan salahseorang pemimpin itu dan minum dari mata-air keahlian mereka hingga waktu fadjar. Aku menjukai waktu makan, Kami makan setjara satu keluarga, djadi aku dapat mengikuti dan meresapkan pertjakapan politik. Pada waktu mereka melepaskan lelah disekeliling medja, aku bahkan kadangkadang berani mengadjukan pertanjaan. Mahaputera-mahaputera ini putera-putera jang besar dari rakjat Indonesia—tidak mengatjuhkanku karena aku masih anak-anak. Sekali pada waktu makan malam mereka mempersoalkan tentang kapitalisme dan tentang barang-barang jang diangkut dari kepulauan kami untuk memperkaja Negeri Belanda. Disaat inilah aku bertanja pelahan, ,,Berapa banjak jang diambil Belanda dari Indonesia ?",,Anak ini sangat ingin tahu," senjum Pak Tjok, kemudian menambahkan, ,,De Vereenigde Oost Indische Compagnie menjedot— atau mentjuri—kira-kira 1800 djuta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag.",,Apa jang tinggal dinegeri kita ?" kali ini aku bertanja lebih keras sedikit.,,Rakjat tani kita jang mentjutjurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari," kata Alimin, jaitu orang jang memperkenalkanku kepada Marxisme.,,Kita mendjadi bangsa kuli dan mendjadi kuli diantara bangsabangsa," sela kawannja jang bernama Muso.,,Sarekat Islam bekerdja untuk memperbaiki keadaan dengan mengadjukan mosi-mosi kepada Pemerintah," kata Pak Tjok menerangkan dan kelihatan senang karena mempunjai murid jang begitu bersemangat. ,,Pengurangan padjak dan serikat-serikat sekerdja hanja dapat digerakkan dengan kooperasi dengan Belanda—sekalipun kita membentji kerdja-sama ini.",,Tapi apakah baik untuk membentji seseorang sekalipun ia orang Belanda ?" ,,Kita tidak membentji rakjatnja," dia memperbaiki, ,,Kita membentji sistim pemerintahan Kolonial.",,Mengapa nasib kita tidak berobah djika rakjat kita telah berdjoang melawan sistim ini sedjak berabad-abad ?',,,Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berdjoang sendiri-sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut jang ketjil didaerah jang terbatas," Alimin mendjawab.,,0, mereka kalah karena tidak bersatu," kataku. Ahli pikir India, Swami Vivekananda, menulis, ,,Djangan bikin kepalamu mendjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untukdiamalkan." Aku mulai menerapkan apa-apa jang telah kubatja kepada apa jang telah kudengar. Aku memperbandingkan antaraperadaban jang megah dari pikiranku dengan tanah-airku sendiri jang sudah bobrok.Setapak demi setapak aku mendjadi seorang pentjinta tanah-air jang menjala-njala dan menjadari bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati kesenangan dengan melarikan diri kedalam dunia chajal. Aku menghadapi kenjataan bahwa negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku berdjalan-djalan seorang diri dan merenungkan tentang apa jang sedang berputar dalam otakku.

Satu djam lamanja aku berdiri tak bergerak diatas diambatan ketjil jang melintasi sungai ketjil dan memandangi iring-iringan manusia jang tak henti-hentinja. Aku melihat rakjat tani dengan kaki-ajam berdjalan lesu menudju pondoknja jang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mentjekam diatas kereta terbuka jang ditarik oleh dua ekor kuda jang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulitputih kelihatan bersih-bersih, sedang saudara-saudaranja jang belkulit sawomatang begitu kotor, badannja berbau, badjunja tjompang-tjamping, anak-anak mereka djorok-djorok. Aku bertanja dalam hati, apakah orang bisa tetap bersih apabila mereka tidak - punja pakaian lain untuk penggantinja. Kuisap masuk tubulrku bau daripada sisa makanan jang sudah busuk dan bau selokan-selokan jang melemaskan, dan kulekatkan dengan kuat didalam lobang hidungku bau busuk daripada kemelaratan rakjatku, sehingga sekalipun aku pergi 10.000 mil dari disungai aku masih tetap mentjiumnja. Aku memandang kedalam keputus asaan dari setiap laki-laki dan perempuan jang kulihat. Aku terhanjut bersama rakjatku. Rakjatku jang miskin lagi papa. Dari djembatan aku menoleh kearah massa jang seperti semut banjaknja dan aku mengerti sedjelas-djelasnja, bahwa inilah kekuatan kami. Dan aku-menjadari sesadar-sadarnja akan penderitaan mereka. Sekalipun anak ketjil tak-akan dapat menahan rawan hatinja pada waktu pertamakali melihat kata-kata peringatan dikolam-renang jang berbunji, ,,Terlarang bagi andjing dan bumiputera." Andjing didahulukan. Dapatkah seorang manusia tidak tersinggung perasaannja, apabila seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada setiap Belanda jang menaiki tremnja ? Aku seorang anak berumur 14 tahun ketika mukaku ditampar oleh seorang anak berhidung pandjang, tak lain hanja disebabkan karena aku seorang inlander. Apakah menurut pendapatmu tindakan-tindakan jang demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam hati ? Ja, aku mempunjai kesadaran sebagai seorang anak. Aku memulai persembahan hidupku ini pada umur 16 tahun. Perkumpulan politik jang pertama kudirikan adalah Tri Koro Darmo jang berarti ,,Tiga Tudjuan Sutji" dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial jang kami tjari. Ini pada dasarnja adalah suatu organisasi sosial dari para peladjar seumurku. Jong Java', sebagai langkah kedua, mempunjai dasar jang Iebih luas. Begitupun pergaulan sosial kami berlandaskan kebangsaan. Kami membaktikan diri untuk memperkembangkan kebudajaan asli seperti mengadjarkan tari Djawa atau mengadjar main gamelan. Jong Java pun banjak melakukan pekerdjaan-pekerdjaan sosial. Kami pergi kekampung-kampung jang berdekatan untuk mengumpulkan dan bagi sekolah atau untuk membantu korban bentjana letusan gunung. Kami mengadakan pertunjukan ditempat-terapat jang memerlukan pertolongan dan mengeluarkan biaja-biaja itu dari hasil uang masuk. ,,

Harus kuakui sekarang, bahwa tampangku dimasa muda sangat tampan sehingga kelihatan seperti anak gadis. Karena hanja sedikit wanita terpeladjar pada waktu itu, tidak banjak anak gadis jang mendjadi anggota kami. Dan potonganku lebih banjak menjerupai seorang perawan tjantik sehingga kalau Jong Java mengadakan pertundjukan. Manaakalau diserahi memainkan peran wanita jang naif itu. Aku betulbetul membedaki pipi dan memerahkan bibirku. Akan kutjeritakan sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, bagaimana pendapat orang-asing tentang seorang Presiden jang mau mentjeritakan hal jang demikian itu Tetapi sungguhpun demikian aku akan mentjeritakannja djuga. Aku membeli dua potong -roti manis. Roti bulat. Seperti roti-gulung. Dan kuisikan kedalam badjuku. Ditambah dengan bentuk-badanku jang langsing setiap orang menjatakan, bahwa aku kelihatan sangat tjantik. Untunglah dalam peranku itu tidak termasuk adegan mentjium laki-laki. Selesai pertundiukan kupikir, tentu aku tak dapat menghamburkan uangku begitu sadja Karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam badju dan kumakan. Sambil memandangku diatas panggungpara penontonpun memberikan komentaraja, bahwa aku memperlihat-kan bakat jang besar untuk tampil dimoka umum. Akupun sangat setudju dengan pendapat mereka, tidak lama kemudian aku mendapat kesempatan lain. Ketika itu diadakan pertemuan dari Studieclub, jaitu suatu kelompok sebagai pengadjaran tambahan dan bertudjuan untuk membahas buah-buah pikiran dan tjita-tjita. Disinilah aku mengadakan pidato jang pertama.

Aku berumur 16 tahun. Ketua Studieclub mendapat giliran untuk berbitiara dan mendadak aku dikuasai oleh suatu dorongan jang kuat untuk berbitjara. Aku tidak dapat mengendalikan diriku selandjutnja. Selagi duduk dalam pertemuan itu aku melompat dan berdiri diatas medja. Suatu gerak perbuatan chas seperti kanak-kanak. Kukira ini disebabkan karena aku bersifat emosionil. Sekarangpun aku masih demikian. Ketua menjatakan, ,,Adalah mendjadi suatu keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda."Setiap orang setudju. Setiap orang, ketjuali aku sendiri. Aku gugup tentunja, akan tetapi ketika aku memperoleh perhatian mereka, aku berbitjara dengan suara jang tenang sekali, ,,Tidak. Saja-tidak setudju, ,,Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti diantara. Nusantara berarti ribuan pulau-pulau ini, dan banjak diantara pulau-pulau ini lebih besar daripada seluruh negeri Belanda Djumlah penduduk Negeri Belanda hanja segelintir djika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanja dipergunankan oleh enam djuta orang.,,Mengapa suatu negeri ketjil jang terletak disebelah sana dari dunia ini menguasai suatu bangsa jang dulu pernah begitu perkasa, sehinngga dapat mengalahkan Kublai Khan jang kuat itu?" Dengan suara tenang dan tidak terburu-buru atau tegang aku selandjutja mengemukakan alasan-alasan ditambah dengan kenjataan-kenjataan. Aku mengachiri pidato itu dengan kata-kata, ,,Saja berpendapat, bahwa jang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melaju. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknja kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang mendjadi bahasa diplomatik. ,,Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punja lurus dan hitam. Mereka tinggal riboan kilomerer darisini. Mengapa kita harus berbitjara bahasa Belanda?!" Maka terdjadilah keributan karena sangat kagum. Mereka tak pernah mendengar hal sematjam ini sebelumnja. Kuingat Direktur H.B.S., Tuan Bot, berdiri disana. Dia tidak berbuat apa-apa melainkan memandang kepadaku dengan muka tidak senang samasekali, seakan dia berkata, ,,Oooh—Oooh, Sukarno mau bikin susah !" Sekalipun aku tidak membikin susah, aku sudah tjukup dibikin susah. Aku adalah anak baru disekolah Belanda ini dan tambahan lagi seorang anak Bumiputera. H.B.S. mempunjai 300 orang murid. Hanja 2 diantaranja orang Indonesia. Aku dikeliiingi dari segala djurusan oleh anak laki-laki dan anak-anak gadis Belanda. Sudah tentu mereka tidak senang padaku. Terketjuali barangkali beberapa anak gadis, maka aku dianggap sepi. Sekolah mulai djam tudjuh pagi sampai djam satu siang, enam hari dalam seminggu. Diantara djam-djam peladjaran ada waktu istirahat, pada waktu mana setiap anak bermain atau djadjan. Akan tetapi anak-anak Belanda tentu memisah dari kami. Mereka berusaha supaja kami tidak ada kawan. Merekapun berusaha supaja hidung kami selalu berlumuran darah. Sewaktu kami masih sebagai siswa baru, seorang anak jang rapi pakai tjelana baru dan kaku berwarna putih jang mendjadi ketentuan untuk tahun pertama berdiri mengangkang menghalangi djalanku dan mengedjek, ,,Menjingkir dari djalanku, anak inlander." Ketika aku berdiri disana dia melepaskan tangannja PANGGGG !' Tepat dihidungku ! Djadi, kupukul dia kembali. Setiap hari aku pulang babak-belur. Aku tak pernah mendjadi tukang berkelahi, tapi sekalipun aku dapat menahan penghinaan aku tak dapat menghindari perkelahian tangan. Kadang-kadang kukalahkan mereka, akan tetapi terkadangpun mereka mengalahkanku. Kamipun mengalami diskriminasi didalam sekolah. Sekolah begitu keterlaluan terhadap kami, sehingga kalau seorang anak Bumiputera membuat suatu kesalahan maka Direktur menghukumnja dengan larangan masuk kelas selama dua hari. Kami mentjurahkan tenaga dengan sungguh-sungguh kepada peladjaran. Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam, nilai jang didapat oleh anak-anak Belanda pasti lebih tinggi daripada jang diterima oleh anak Indonesia. Nilai ketjakapan diukur dengan angka. Angka 10 jang tertinggi dan angka enam adalah batas nilai tjukup dan inilah kebanjakan jang diterima oleh inlander. Kami mempunjai suatu pameo mengenai angka-angka ini: angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk professor, angka delapan untuk anak jang luarbiasa, tudjuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak Bumiputera. Aku adalah penggambar tjat-air jang luarbiasa. Ditahun kedua kami disuruh menggambar kandang-andjing.

Sementara jang lain masih mengukur-ukur dan menaksir-naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang jang lengkap, didalamnja seekor andjing jang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh kelas. Ia mengatakan, ,,Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai jang setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka jang paling tinggi itu ? Tidak. Selalu orang kulitputih lebih pandai. Lebih tjerdas. Orang kulitputih lebih banjak tahu. Alat kolonial tidak akan berhasil, ketjuali djika ia memupuk keunggulan kulitputih terhadap sawomatang. Guru-guru sangat sajang kepadaku. Aku anak jang patuh, sungguhsungguh dan hormat. Hanja sesekali aku bertindak diluar garis. Aku tidak pernah betul betul kurang-adjar, akan tetapi pada suatu kali setelah pidatoku jang pertama aku berdjalan melalui ruangan ketika professor Egberts melihatku dan meneriakkan, ,,Hai, Sukarno, bagaimana dengan kau punja 'Jong Java'?" dan aku mengedjek, Ja, Professor, bagaimana pula dengan tuan punja 'Oud Holland' ?"Aku mendjadi favorit dari guru bahasa Djerman jang djuga memimpin Kelompok Perdebatan kami. Dalam memperdebatkan persoalan kehilir-kemudik dan mengadjukan pendapat-pendapat jang berlawanan, aku memperbaiki ketjakapan berbitjara. Professor Hartagh melihat, bahwa aku dapat memimpin kawan-kawanku. Pada suatu pertemuan Hartagh menjampaikan kepada ke 20 orang murid setjara bersamasama dan kepadaku setjara pribadi, bahwa aku akan mendjadi pemimpin jang besar kelak. Professor mungkin punja bola-kristal' untul meramal. Iapun pernah mentjeritakan kepada orang lain, bahwa dia akan mendjadi guru dan memang itu dia djadinja.Seorang guru perempuan betul-betul sangat sajang kepadaku, sehingga ia memberiku nama Belanda. Aku, tjalon pemimpin dari suatu revolusi dimasa jang akan datang, dengan nama Belanda ? Dia menamaiku Kerel. Dia bahkan memanggilku ,,Schat", perkataan Belanda untuk kesajangan. Kalau dia kelupaan kuntji atau sesuatu barang, dia lalu menundjukku dan berkata dengan manis, ,,Schat, maukah engkau pergi kekamarku dan mengambil kuntji ?" Ach, ini adalah hak istimewa iang sangat besar. Pada suatu hari dia mengandjakku kerumahnja untuk menerima peladjaran tambahan bahasa Perantjis. Aku gemetar karena anugerah jang istimewa itu. Pada waktu umurku semakin mendekati kedewasaan aku masih gemetar dengan anugerah istimewa sematjam ini. Akan tetapi karena alasan-lain. Aku sangat tertarik kepada anak-anak gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan pertjintaan dengan mereka. Hanja inilah satu-satunja djalan jang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap beagsa kulitputih dan membikin mereka tunduk pada kemauanku. Bukankah ini selalu mendjadi idaman ? Apakah seorang djantan berkulit sawomatang dapat menaklukkan seorang lakilaki kulitputih ? Ini adalah suatu tudjuan jang hendak diperdjoangkan. Menguasai seorang gadis kulitputih dan membikinnja supaja menginginiku adalah suatu kebanggaan. Seorang pemuda tampan senantiasa mempunjai kawan gadis-gadis jang tetap. Aku punja banjak. Mereka bahkan memudja gigiku jang tidak rata. Dan aku-mengakui bahwa aku sengadja mengedjar gadis gadis kulitputih. Tjintaku jang pertama adalah PauIine Gobee, anak- salah-seorang guruku. Dia memang tjantik dan aku tergila-gila kepadanja. Kemudian menjusul Laura. Oo, betapa aku memudjanja. Dan ada lagi keluarga Raat. Mereka ini keluarga Indo dan mempunjai beberapa orang puteri aju. H.B.S. letaknja diarah jang berlawanan dengan rumah keluarga Raat, tapi sekalipun demikian setiap hari selama berbulan-bulan aku mengambil djalan keliling, hanja untuk lewat dimuka rumahnja dan untuk menangkap selintas pandangannja. Dekat itu terdapat Depot Tiga, warung tempat minum. Aku kadang-kadang diadjak oleh salahseorang kawan kesana dan disanalah kami dapat duduk dengan gembira dan memandangi gadis-gadis Belanda lalu.

Kemudian bagai suatu tjahaja jang bersinar dalam gelap, muntjullah Mien Hessels dalam kehidupanku. Hilanglah Laura, lenjaplah keluarga Raat dari ingatan dan lenjap pulalah kegembiraan Depot Tiga. Sekarang aku punja Mien Hessels. Dia samasekali milikku dan aku sangat tergila-gila kepada kembang tulip berambut kuning dan pipinja jang merah mawar itu. Aku rela mati untuknja kalau dia menghendakinja. Umurku baru 18 tahun dan tidak ada jang lebih kuinginkan dari kehidupanku ini selain daripada memiliki djiwa dan raga Mien Hessels. Aku mengharapnja dengan perasasn berahi dan sampailah aku pada suatu kesungguhan hati, aku harus mengawininja. Tak satupun jang dapat memadamkan api jang sedang menggolak dalam diriku. Ia adalah bagai kembang-gula diatas kue jang takkan dapat kubeli. Kulitnja lembut bagai kapas, rambutnja ikal dan pribadinja memenuhi segala-galanja jang kuidamkan. Untuk dapat merangkulkan tanganku memeluk Mien Hessels nilainja lebih dari segala harta bagiku. Achirnja aku memberanikan diri untuk berbitjara kepada bapaknja. Aku mengenakan pakaian jang terbaik, dan memakai sepatu. Sambil duduk dikamarku jang gelap aku melatih kata-kata jang akan kuutjapkan dihadapannja. Akan tetapi pada waktu aku mendekati rumah jang bagus itu aku menggigil oleh perasaan takut. Aku tak pernah sebelumnja bertamu kerumah seperti ini. Pekarangannja menghidjau seperti beludru. Kembang-kembang berseri tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai pradjurit. Aku tidak punja topi untuk dipegang, karena itu sebagai gantinja aku memegang hatiku.Dan disanaIah aku berdiri, gemetar, dihadapan bapak dari puteri gadingku, seorang jang tinggi seperti menara jang memandang kebawah langsung kepadaku seperti aku ini dipandang sebagai kutu diatas tanah. ,,Tuan," kataku. ,,Kalau tuan tidak berkeberatan, saja ingin minta anak tuan." ,,Kamu? Inlander kotor, seperti kamu ? sembur tuan Hessels, ,,Kenapa kamu berani-beranian mendekati anakku ? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar !" Dapatkah orang membajangkan betapa aku merasa seperti didera dengan tjambuk ? Dapatkah kiranja orang pertjaja, bahwa noda jang ditjorengkan dimukaku ini pada satu saat akan pupus samasekali ? Sakitnja adalah sedemikian, sehingga disaat itu aku berpikir, ,,Ja Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini." Dan djauh dalam lubukhatiku aku merasa pasti, bahwa aku tidak akan dapat melupakan dewiku jang berparas bidadari itu, Mien Hessels.

23 tahun kemudian, jaitu tahun 1942. Djaman perang. Aku sedang melihat-lihat etalase pada salahsatu toko pakaian laki-laki disuatu djalanan Djakarta, ketika aku mendengar suara dibelakangku, ,,Sukarno ?"Aku berpaling memandangi seorang wanita asing, ,,Ja, saja Sukarno."Dia tertawa terkikik-kikik, ,,Dapat kau menerka siapa saja ini ?"Kuperhatikan dia dengan saksama. Dia seorang njonja tua dan gemuk. Djelek, badannja tidak terpelihara. Dan aku mendjawab, ,,Tidak, njonja. Saja tidak dapat menerka. Siapakah Njonja ?",,Mien Hessels," dia terkikik lagi. Huhhhh ! Mien Hessels ! Puteriku jang tiantik seperti bidadari sudah berobah mendjadi perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah aku melihat perempuan jang buruk dan kotor seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinja sampai begitu. Dengan tjepat aku memberi salam kepadanja, lalu meneruskan perdjalananku. Aku bersjukur dan memudji kepada Tuhan Jang Maha-Penjajang karena telah melindungiku. Tjatji-maki jang telah dilontarkan bapaknja kepadaku sesungguhnja adalah suatu rahmat jang tersembunji. Kalau dipikir-pikir, tentu aku takkan bisa lepas dari perempuan ini. Aku bersjukur kepada Tuhan atas perlindungan jang telah-diberikanNja. Huhhh, orang apa itu ! Djalan hidupku sebagai seorang pentjinta dimasa belia berachir ketika Bu Tjokroaminoto meninggal. Keluarga Pak Tjokro dengan anak-anak jang bajar-makan pindah kerumah lain. Dan pemimpin jang kumuliakan itu keadaannja begitu tertekan, sehingga aku merasa kasihan melihatnja. Anaknja masih ketjil-ketjil, dia seorang diri dan rumah itu asing suasananja. Seluruh keluarga nampaknja tidak berbahagia samasekali. Aku tidak dapat memandangi keadaan jang demikian itu.Kami belum lama menempati rumah jang baru itu ketika saudara Pak Tjok datang menemuiku dan berkata, ,,Sukarno, kaulihat bagai mana sedihnja hati Tjokroaminoto. Apakah tidak dapat kau berbuat sesuatu supaja hatinja gembira sedikit ?" Hatiku sangat berat dan mendjawab, ,,Saja dengan segala senang hati mau mengerdjakan sesuatu, supaja dia dapat tersenjum lagi. Tapi apa jang dapat saja lakukan ? Saja tidak bisa mendjadi isteri Pak Tjokro.",,Bukan begitu, tapi engkau dapat menggembirakan hatinja dengan tjara lain."
"Tjara lain" ?
" Ja" ?
"Bagaimana ?"
"Djadi menantunja". Puterinja Utari sekarang tidak punja ibu lagi. Tjokro sangat kuatir terhadap haridepan anaknja itu dan siapa jang akan mendjaganja dan mengasihinja. Inilah jang memberatkan pikirannja. Saja kira, kalau engkau minta kawin dengan anak saudaraku itu, mungkin ini akan mengurangi sedikit tekanan perasaan dari Pak Tjokro."
"Tapi umurnja baru 16," kataku memprotes.
"Ja memang, Kan engkau belum 21. Perbedaan umur tidak begitu djauh. Katakanlah pada saja, Sukarno, apakah ada perhatianmu sedikit terhadap anak kakakku ?"
,
"Jah," aku menerangkan pelahan-lahan. ,,Saja sangat berterima kasih kepada Pak Tjokro……. Saja mentjintai Urari Tapi tidak terlalu sangat. Sungguhpun begitu, sekiranja saja perlu memintanja untuk meringankan beban dari djundjunganku, jah, saja bersedia. "Aku mendatangi Pak Tjokro dan mengadjukan lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh karena akan mendjadi menantu aku segera dipindahkan kekamar jang lebih besar dengan perabot jang lebih banjak. Sampai dihari ia menutup mata, ia tak pernah mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanja karena aku sangat menghormatinja dan menaruh kasihan kepadanja. Kami kawin dengan tjara jang kita namakan ,,kawin gantung" Ini adalah perkawinan biasa jang dibenarkan dalam hukum dan agama. Orang Indonesia mendjalankan tjara ini karena beberapa alasan. Kadang-kadang dilangsungkan kawin gantung terlebih dulu, karena kedua-duanja belum mentjapai umur untuk dapat menunaikan kewadjiban mereka setjara djasmaniah. Atau adakalanja sianak dara tinggal dirumah orangtuanja sampai pengantin laki-laki sanggup membelandjai rumahtangga sendiri.

Dalam hal kami, aku dapat tidur dengan isteriku kalau aku menghendakinja. Akan tetapi aku tidak melakukannja karena dia masih kanak-kanak. Boleh djadi aku seorang jang pentjinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh anak gadis remadja Itulah sebabnja, mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta kawinnjapun digantung.Disaat-saat aku mengawini Utari terdjadi dua buah peristiwa, lain tidak karena pendirian jang kolot. Penghulu setjara serampangan menolak untuk menikahkan kami karena aku memakai dasi. Dia berkata, ,,Anak muda, dasi adalah pakaian orang-jang beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.",,Tuan Kadi" aku membalas, ,,Saja menjadari, bahwa - dulunja mempelai hanja memakai pakaian Bumiputera, jaitu sarung. Tapi ini adalah tjara lama. Aturannja sekarang sudah diperbarui.",,Ja," katanja membentak, ,,Akan tetapi pembaruan itu hanja untuk memakai pantalon dan djas buka." ,,Adalah kegemaran saja untuk berpakaian rapi dan memakai dasi," aku menerangkan dengan tadjam.,,Dalam hal ini, kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakaian rapi itu, saja menolak untuk melakukan pernikahan." Apabila aku ditegur dengan keras dimuka umum, atau disuruh harus begini-begitu atau lain-lain, aku mendjadi keras. Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menjuruhku untuk menanggalkan dasi. Aku menjentak bangkit dari korsiku dan mendjawab dengar tandas, Barangkali lebih baik tidak kita landjutkan hal ini sekarang." Timbul protes keras dari imam mesdjid, akan tetapi aku menggeledek, ,,Persetan, tuan-tuan semua. Saja pemberontak dan saja akan selalu memberontak, saja tidak mau didikte orang dihari perkawinan saja." Kalau sekiranja tidak dihadapan salah seorang tamu kami jang djuga seorang alim dan sanggup menikahkan kami, mungkinlah Sukarno tidak akan bersatu dengan Utari Tjokroaminoto dalam pernikahan menurut agama.

Ketika lima menit lagi aku akan menghabisi masa djedjakaku, terdjadilah peristiwa aneh jang kedua. Tepat sebelum aku mengindjak ambang-pintu aku mengambil rokok untuk melakukan hembusan jang terachir. Aku mengeluarkan korek-api dari kantong, menggoreskan sebuah disisi kotaknja untuk menjelakannja dan ……. Sisst …….seluruh kotak itu menjala oleh djilatan api. Anak-korek-api jang ada dalam kotak itu menjala semua sampai jang terachir. Karena djilatan api ini djariku terbakar. Kuanggap kedjadian ini sebagai pertandaburuk dan memberikan kepadaku suatu perasaan ramalan jang gelap. Aku tidak mentjeritakan hal ini kepada siapapun, akan tetapi aku tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan jang menakutkan ........ Ehhh….. Apa maksudnja ini ?

Sekalipun kedudukanku sebagai orang jang baru kawin, waktuku dimalam hari kupergunakan untuk mempeladjari Pak Tjokro. Aku mendjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut. Sukarnolah jang selalu menemaninja kepertemuan-pertemuan untuk berpidato, tak pernah anaknja. Dan aku hanja duduk dan memperhatikannja. Dia mempunjai pengaruh jang besar terhadap rakjat Sekalipun demikian, setelah berkali-kali aku mengikutinja aku menjadari, bahwa dia tak pernah meninggikan atau merendahkan suaranja dalam berpidato. Tak pernah membuat lelutjon. Pidato-pidatonja tidak bergaram. Aku tidak pernah membatja salah-satu buku jang murah tentang bagaimana tjara mendjadi pembitjara dimuka umum. Pun tidak pernah berlatih dimuka katja. Bukanlah karena aku sudah tjukup berhasil, akan tetapi karena aku tidak mempunjai apa-apa. Tjerminku adalah Tjokroaminoto. Aku memperhatikannja mendjatuhkan suaranja. Aku melihat gerak tangannja dan kupergunakan penglihatanku ini pada pidatoku sendiri. Mula-mula sekali aku beladjar menarik perhatian pendengarku. Aku tidak hanja menarik, bahkan kupegang perhatian mereka Mereka terpaksa mendengarkan. Suatu getaran mengalir kesekudjur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku memiliki suatu kekuatan jang dapat menggerakkan massa. Aku menguraikan pokok pembitjaraanku dengan sederhana. Pendengarku menganggap tjara ini mudah untuk dimengerti, karena aku lebih banjak mendasarkan pembitjaraanku kepada tjara bertjerita, djadi tidak semata-mata memberikan fakta dan angka. Aku berbuat menurut getaran perasaanku. Pada suatu malam Pak Tjokro tidak dapat memenuhi undangan kesuatu rapat dan kepadaku dimintanja untuk menggantikannja.

Kali ini adalah suatu pertemuan ketjil, akan tetapi aku menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknja. Aku mulai dengan suara lunak. ,,Negeri kita, saudara, adalah tanah jang subur, sehingga kalau orang menanamkan sebuah tongkat kedalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan mendjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakjat menderita kekurangan dan kemelaratan adalah beban jang harus dipikul sehari-hari. Puntjak gunung menghisap awan dilangit, turun kebumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hudjan jang melimpah-limpah. Akan tetapi kita kekurangan makan dan perut kita mendjerit-djerit kelaparan.",,Ja, betul," mereka berteriak dari tempat duduknja. Suaraku mulai naik. ,,Saudara tahu apa sebabnja, saudara-saudara ? Sebabnja ialah, oleh karena orang jang mendjadjah kita tidak mau menanamian uang kembali untuk memperkaja bumi jang mereka peras. Pendjadjah hanja mau memetik hasilnja. Ja, mereka menjuburkan bumi kita ini. Betul ! Akan tetapi tahukah saudara dengan apa mereka menjuburkan bumi kita ini ? Tahukah saudara apa jang dikembalikan kebumi kita ini setelah 350 tahun mendjadjah ? Saja akan tjeritakan kepada saudara-saudara. Bumi kita ini mereka suburkan dengan majat-majat jang bergelimpangan dari rakjat kita jang mati karena kelaparan, kerdja keras dan hanja tinggal tulang-belulang !,,Maka dari itu saja bertanja, apakah saudara tidak setudju dengan saja ? Seperti saja sendiri, apakah hati saudara tidak digontjang-gontjang oleh keinginan untuk merdeka ? Saja pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Saja bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan saja akan mati dengan tjita-tjita untuk merdeka didalam dadaku.

Apakah saudara tidak setudju dengan saja ?" ,,Setudjuuuuuu !" mereka berteriak, ,,Ja……..kami setudju !" Mereka melihat kepadaku kalau aku berbitjara. Mereka memandang kepadaku seperti memudja, mata-mata terbuka lebar, muka-muka-terangkat keatas, meneguk semua kata-kataku dengan penuh kepertjajaan dan harapan. Nampak djelas, bahwa aku mendjadi pembitjara jang ulung. Ia berada dalam urat nadiku.
Aku menghirup lebih banjak lagi persoalan politik dirumah Pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme. Dan setelah mengikuti setiap pidatoku maka kawan-kawan seperdjoangan mulai mengerti lebih banjak tentang pendirianku. Kemudian mulai setudju. Lalu mengikuti pendirianku. Dan mentjintaiku. Mereka memilihku sebagai sekretatis dari Jong Java dan beberapa waktu kemudian aku mendjadi ketua.

Akupun menulis untuk madjalah Pak Tjok, ,,Oetoesan Hindia", akan tetapi dengan nama-samaran, karena memang susah untuk memasuki sekolah Belanda sambil menulis dalam madjalah jang menbela tindakan untuk merobohkan Pemerintah Belanda. Aku kembali kepada Mahabharata untuk memperoleh nama-samaranku. Aku memilih nama ,,Bima" jang berarti ,,Pradjurit Besar" dan djuga berarti keberanian dan kepahlawanan. Aku menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia membitjarakannja. Ibu, jang tidak tahu tulis-batja, dan bapakku tidak pernah tahu bahwa ini adalah anak mereka jang menulisnja. Memang benar, bahwa keinginan mereka jang paling besar adalah, agar aku mendjadi pemimpin dari rakjat, akan tetapi tidak dalam usia semuda itu ! Tidak dalam usia jang begitu muda, jang akan membahajakan pendidikanku dimasa jang akan datang. Bapak tentu akan marah sekali dan akan berusaha dengan berbagai djalan untak mentjegahku menulis. Aku tidak akan memberanikan diri menjampaikan kepada mereka, bahwa Karno ketjil dan Bima jang gagah berani adalah satu. Ramalan-emas jang pertamakali diutjapkan oleh ibu diwaktu aku lahir—jang didengungkan kembali oleh nenekku pada waktu aku masih botjah ketjil dan jang didengungkan lagi dimasa mudaku oleh Professor Hartagh—kemudian diutjapkan pula ketika aku berada diambang-pintu usiaku jang keduapuluh. Dan oleh dua orang jang berlainan.

Dr. Douwes Dekker Setiabudi adalah seorang patriot jang telah menderita selama bertahun-tahun dalam pembuangan. Ketika umurnja sudah lebih dari 50 tahun ia menjampaikan kepada partainja, jaitu Nationaal Indische Partij, ,,Tuan-tuan, saja tidak menghendaki untuk digelari seorang veteran. Sampai saja masuk keliang-kubur saja ingin mendjadi pedjoang untuk Republik Indonesia. Saja telah berdjumpa dengan pemuda Sukarno. Umur saja semakin landjut dan bilamana datang saatnja saja akan mati, saja sampaikan kepada tuan-tuan, bahwa adalah kehendak saja supaja Sukarno jang mendjadi pengganti saja." ,,Anak muda ini," ia menambahkan, ,,akan mendjadi 'Djuru-selamat' dari rakjat Indonesia dimasa jang akan datang."Ramalan-jang kedua keluar dari Pak Tjokro, seorang penganut Islam jang saleh. Dia banjak mempergunakan waktunja untuk sembahjang dan mendo'a. Setelah beberapa lama melakukan samadi, ia kembali kepada seluruh keluarganja pada suatu malam jang berhudjan dan ia berbitjara dengan kesungguhan hati? ,,Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk mendjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinja tempat berteduh dirumahku." Sepuluh Djuni 1921 aku lulus. Sebelas Djuni rentjana jang telah kuperbuat untuk diriku sendiri ditolak mentah-mentah. Kawan-kawanku dan aku bermaksud akan meneruskan peladjaran kesekolah tinggi di Negeri Belanda. Ibu tidak mau tahu samasekali dengan itu. Aku bersoal dengan dia. ,,Ibu, semua anak-anak.jang lulus dari H.B.S. dengan sendirinja pergi ke Negeri Belanda. Itulah djalan jang biasa. Kalau orang mau-memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri Belanda.",,Tidak. Tidak bisa. Anakku tidak akan pergi ke Negeri Belanda," ia memprotes.,,Apa salahnja keluar negeri ?",,Tidak ada salahnja," katanja. ,,Tapi banjak djeleknja untuk pergi kenegeri Belanda. Apakah jang menjebabkan kau tertarik?:Pikiran untuk mentjapai gelar universitas ataukah pengharapan akan mendapat seorang perempuan kulitputih ?",,Saja ingin masuk universitas, Bu." ,"Kalau itu jang kauingini, kau memasuki jang disini. Pertama kita harus mengingat kenjataan pokok jang mengendalikan sesuatu dalam hidup kita, Uang. Pergi keluar negeri memerlukan biaja jang sangat besar. Disamping itu, engkau adalah anak jang dilahirkan dengan darah Hindia. Aku ingin supaja engkau tinggal disini diantara bangsa kita sendiri. Djangan lupa sekali-kali, 'nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah dikepulanan ini." Dan begitulah aku mendaftarkan diri ke
universitas di Bandung.

Mungkin suara ibu jang kudengar. Akan tetapi sesungguhnja tangan Tuhanlah jang telah-menggerakkan hatiku.


SUKARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT

Hari-Hari Terakhir Sukarno




Essay : Hari-Hari Terakhir Bung Karno

Oleh Anton Djakarta


Dalam mimpi yang pudar jaman tak akan bergetar seperti dulu ketika aku masih memimpin revolusi yang gelegar. Aku disini sebagai orang yang lunglai dan tak tahu apa-apa mengenai dunia, dunia yang pernah membesarkanku ..... lalu lelaki gemuk tua itu berdiri. Kaos singletnya basah oleh keringatnya yang mengalir deras.

Wajahnya membengkak, dan bibir yang dulu paling dikenal dalam sejarah merdekanya Indonesia, kini menjadi paruh betet yang tak lagi menarik, hidungnya sebesar tomat dan hidung tomat itu bukan lagi hidung tomat yang membuat takut kaum imperialis, hidung itu tak lebih dari tomat yang bolong-bolong.

Si bung itu duduk kembali dan matanya basah.

Matahari masih sembunyi dalam alam jingga, dulu ia bisa mengesankan pagi yang indah dengan serbuan kata-kata. Kini dia hanya diam kata-kata tak lagi berteman. “Bapak segera mandi!” bentak seorang tentara. Dia hanya menoleh. Lalu berdiri dan menurut perintah tentara. Jalannya lunglai, dan ginjalnya tak lagi normal. Seorang pemimpin besar yang dulu pernah menaklukkan dengan telunjuk mengacung-acung dan seribu batalyon bisa membakar jiwa revolusi, kini hanya seonggok daging tua yang tak memiliki nyali.

“Aku tak ada apa-apa, tapi aku adalah bangsa itu sendiri” gumam lelaki tua bertubuh gemetar. Ia berjalan pelan terseok-seok di sebuah ruangan besar yang kotor, membawa handuk dan perlengkapan mandi. Seorang yang dulu begitu rupawan menggoda jutaan wanita dan menginspirasi jutaan pemuda memindahkan gunung dan membakar samodera. Memerintah puluhan Jenderal dan dipuja ratusan juta rakyatnya. Ia adalah dewa, tapi kini tak lebih bandit yang dilabur hitam dalam sejarah.

“Dunia ini seperti nasib yang berputar-putar, kita dipaksa bermain dadu.... tapi kita juga dipaksa memerahkan dadu sehingga dadu tak lagi berupa apa-apa” ia terus berjalan menuju kamar mandi. Dunia ini mimpi dan mimpi tak pernah mengubah sejarah.

Deburan air menghantam gayung, tubuh tua gemuknya tak lagi kuat menahan dingin, sementara air hangat sudah kosong. Ia tak boleh manja. Dalam sakitnya yang parah, dia tahu dia akan dibunuh oleh penyakitnya pelan-pelan. Dia tak boleh manja apalagi meminta sedikit pil untuk jaga ginjal, ia tahu yang ia tenggak hanyalah plasebo murahan, tapi ia tak boleh manja karena dirinya toh sudah hancur agar karyanya tak bisa dipecah-pecah oleh Amerika........ Ia tak boleh manja.

Hitam sudah cakrawala pagi, tak ada lagi Cakrabirawa, tak ada lagi orkes Asal Bapak Senang, yang ada hanya pagi sunyi. Dan Bapak sudah mau pergi.

Bulan Juni ini aku lahir dan mimpi terus menerus memerkosa sejarah, aku ndak paham mimpi apa yang berlangsung bagi negeriku, mimpi apa yang sedang dimainkan para Jenderal-Jenderalku, aku tak paham dan tak tahu, tapi aku bukan siapa-siapa. Mimpi tak lagi punya cakrawala. Dan bangsaku tak lagi punya mimpiku .....

Lelaki tua gemuk dengan wajah bengkak keluar dari kamar mandi. Kepalanya botak dan matanya tak lagi setajam elang banten yang menguasai hutan revolusi. Lelaki tua botak itu hanya meringis pelan sembari mencoba tersenyum pada seorang tentara yang bukan lagi menjaganya tapi menahannya. Tentara itu tidak tersenyum. Tentara itu tahu bahwa Bapak bukan lagi orang yang ia puja, tapi seorang tahanan. Si Bung Besar itu berjalan dan ginjalnya tak lagi mampu meremas-remas aliran energi didalam tubuhnya.

Aku lemah.

Aku tak tahu, apakah aku lemah...apakah aku kuat. Aku tak tahu....aku hanya diam .... diam dan diam.... tiba-tiba aku berada pada lorong yang gelap. Matahari pagi tadi tak lagi sunyi, ia menjadi warna ceria, pagi sudah menjadi baskom yang menyenangkan.

Ia seperti ada di Endeh, pada surga perak yang tumbuh dibawah pohon Kenari, ia berjalan pelan. Dia tertawa dan suaranya yang terkenal menggelegar. Tiba-tiba datang Tjokro. Dia heran, Pak Tjok datang. “Kusno, ikutlah bersamaku” Sapa Tjokro dengan tangan menjulur. Ia melihat banyak orang dibelakang Tjokro .... Alimin, Muso, Tan Malaka, Thamrin, Dharsono, Amir, Haji Misbah. Ia lihat ibunya, ia lihat bapaknya, ia lihat kakeknya dan ia juga kaget saat lihat DN Aidit.Tapi ia hanya bisa diam. Saat Tjokro memegang tangannya, Thamrin menghampiri... Bung Ikutlah bersama kami.

Dan pagi hanya punya diam. Ia diam sampai seseorang membangunkannya. “No...No.... bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memegang tangan Bung Karno. Dan matanya basah. “No...no...”Hatta memanggil sekali lagi. Ia ingat kawannya ini, ia ingat pribadinya yang hangat, yang menyenangkan yang suka tertawa dan doyan sekali bergurau. Ia ingat kebaikan hatinya kawannya ini yang menggoda Hatta untuk segera menikah. Ia ingat semua mimpi-mimpi lelaki yang banyak ulah ini, ia ingat semuanya. Dan mata Hatta berubah menjadi sungai air mata. “No...No” kata Hatta lagi.

Thamrin melepaskan tangannya, ia tahu akan menjemput sahabatnya di waktu yang sudah tentu. Tjokro tersenyum dan mengusap-usap mata lelaki itu. “Kusno, aku jemput nanti, lihatlah sahabatmu datang....” Kusno tercekat. Ia bangun lagi. “Hatta.... Hoe gaat het met Jou?” bahu Hatta lemas, ia tak tahan melihat penderitaan Sukarno. Ia meradang tapi seperti ia biasa ia mempu menghantam kemarahannya. Hatta hanya menangis.

Dan beberapa hari kemudian lelaki itu meninggal. Rakyat secara implisit dilarang untuk melihat, tapi rakyat tahu bahwa orang itu yang memerdekakan bangsanya. Rakyat tahu dan jutaan rakyat berjajar lalu....21 Juni 1970 Semua orang Indonesia berhati hampa.


Jakarta, 5 Juni 2009


Menjelang Ulang Tahun Bung Karno.

Bercita-cita Setinggi Bintang Di Langit!



Ibu selalu berkata kepadaku, Sukarno, ketahuilah, engkau itu anak fajar, putera fajar. Sebab engkau dilahirkan pada waktu fajar menyingsing, fajar 6 Juni sedang merantak-rantak di sebelah Timur, pada waktu itu aku lahir. Sehingga Ibu berkata kepadaku sering-sering jikalau aku diajak keluar gubuk memandang ke sebelah Timur, engkau ini anak fajar, engkau dilahirkan pada waktu fajar. Lihat itu fajar. Makin lama makin terang, makin lama makin terang. Engkau nanti akan melihat matahari terbit, jadilah manusia yang berarti, manusia yang manfaat, manusia yang pantas untuk menyambut terbitnya matahari. Manusia yang pantas untuk menyambut terbitnja matahari.
Coba pikirkan ini ucapan almarhum Ibuku, jadilah manusia yang pantas menyambut terbitnya matahari.

Memang ya, Saudara-saudara, anak-anakku sekalian, tidak pantas kalau terbitnja matahari disambut oleh seorang badjingan. Coba, apakah pantas, bajingan menyambut terbitnja matahari atau manusia koruptor yang mencuri harta rakyat menyambut terbitnya matahari? Tidak. Yang pantas menyambut terbitnya matahari itu hanya manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia yang manfaat. Oleh karena matahari adalah satu pemberian Tuhan kepada ummat manusia. Diberi matahari oleh Tuhan agar supaya tumbuh-tumbuhan bisa tumbuh dengan baik, agar supaja dunia ini terang, agar supaya manusia yang hidup di bawah kolong langit ini bisa hidup bahagia. Pemberian Tuhan, matahari ini janganlah disambut oleh manusia-manusia yang tidak pantas menyambutnya.

Sebaliknya Ibu menghendaki aku menjadi manusia yang pantas menyambut terbitnya matahari, oleh karena aku dikatakan oleh Ibu anak fajar.
Nah, berhubung dengan itu maka Bapakku dan Ibuku selalu memberi pendidikan kepadaku untuk mendjadi manusia jang bermanfaat. Terutama sekali tjara Bapak dan Ibu memberi pendidikan kepadaku itu ialah selalu membangunkan tjita-tjita dalam dadaku. Sebab rupanja dan ternjata ini adalah benar dan tepat, manusia tidak bisa mendjadi manusia jang manfaat kalau dia tidak dari mulanja manusia jang bertjita-tjita baik. Tuhan memberi otak kepada manusia, memberi pikiran kepada manusia. Tuhan memberi djuga rasa kepada manusia. Tuhan memberi kenang-kenangan kepada manusia. Hanja manusia jang otaknja tjerdas, rasa hatinja baik, kenang-kenangannja tinggi, bisa mendjadi manusia jang bermanfaat.

Sumber: Amanat Presiden Sukarno pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senajan, Djakarta, pada tanggal  2 Mei 1962.
{jwfbcomments-on}

PIDATO BUNG KARNO : NASAKOM


gambar atas : Bung Karno Berpidato di PBB
Mendjelaskan Pantjasila dan NASAKOM
PIDATO BUNG KARNO : NASAKOM
AMANAT PRESIDEN SUKARNO PADA SAAT RAPAT RAKSASA PEMBUKAAN MUBES TANI SELURUH INDONESIA

di Stadion Utama Gelora "Bung Karno, Senayan Djakarta, pada tanggal 20 Djuli 1965

Saudara-saudara sekalian, Mubes Tani Musjawarah Besar Tani. Saja diminta memberi amanat.Lebih baik amanat saja itu saja tudjukan langsung kepada kaum tani Indonesia, tidak terutama sekali kepada Mubes-nja, oleh karena Mubesnya itu sudah terdiri dari orang-orang djempolan, bukan?Apalagi jang duduk disini, tjoba lihat, semuanja djempolan-djempolan. Saja akan tudjukanamanat saja ini kepada kaum tani Indonesia,chusus kepada kaum tani Indonesia.
Saudara-saudara kaum tani Indonesia, sajalah jang menamakan kaum tani sokoguru Revolusi, disamping kaum buruh adalah sokoguru Revolusi. Apa sebab saja menamakan Saudara-saudara kaum tani sokoguru Revolusi? Saudara mengerti sokoguru itu apa? Soko berarti tiang, sokoguru adalah tiang utama. Misalnya pendopo, sesuatu pendopo, -- Saudara pernah melihat pendopo, bukan, pendopo Kabupaten, pendopo kawedanan, pendopo ketjamatan,pendopo dilain-kain tempat? --,pendopo-pendopo itu mempunjai banjak-banjak tiang mungkin sepuluh, dua-puluh, tiga-puluh, empat-puluh tiang-tiang. Kata orang Djawa, tiang-tiangnja itu tirik-tirik. Tiang-tiang, tetapi tiap-tiap pendopo mempunjai empat tiang jang terpenting, mempunjai empat sokoguru, -- jang ditengah itu -- ,tiang empat daripada pendopo, empat sokoguru daripada pendopo. Ini adalah tiang-tiang jang terpenting.
Djikalau salah-satu daripada empat tiang ini gugur,gugurlah sama-sekali seluruh pendoponja!!!.
Nah Revolusi Indonesia-pun mempunjai sokoguru-sokoguru. Daripada sokoguru-sokoguru Revolusi Indonesia ini dua adalah amat penting, jaitu sokoguru buruh, sokoguru tani. Artinja, djikalau Revolusi Indonesia itu tidak didjalankan, tidak terpikul, tidak dilaksanakan oleh kaum buruh, dia akan gugur --, djikalau tidak didjalankan, tidak dipikul, tidak dilaksanakan oleh kaum tani, gugurlah Revolusi itu --, djikalau tidak didjalankan,tidak dipikul, tidak dilaksanakan oleh kaum tani, gugurlah Revolusi itu. Nah itulah sebabnja maka saja katakan, kaum tani adalah sokoguru daripada Revolusi Indonesia.Revolusi Indonesia itu bertudjuan apa, Saudara-saudara?
Apa tudjuannja Revolusi Indonesia? Hah, kaum tani, sudahkah engkau sekalian mengetahui tudjuan daripada Revolusi kita ini, tudjuan daripada Revolusi Indonesia? Kaum tani jang hadir disini, jang tidak hadir disini, sudahkah engkau sekalian mengetahui tudjuan daripada Revolusi Indonesia itu? Sudahkah engkau sekalian mengetahui tujuan daripada Revolusi Indonesia itu?Berulang-ulang telah kita katakan, Revolusi Indonesia bertudjuan tiga hal, jaitu jang aku namakan tiga kerangka daripada Revolusi Indonesia.
Tiga kerangka daripada Revolusi Indonesia inilah,jang dengan satu perkataan aku tjakup dengan Amanat Penderitaan Rakjat.Tiga kerangka, tiga tudjuan daripada Revolusi Indonesia itu ialah:
Pertama satu negara Republik Indonesia jang berwilajah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke,berdaulat penuh,berbentuk Republik kesatuan.Ini adalah tujuan pertama daripada Revolusi Indonesia.
Tudjuan jang kedua daripada Revolusi Indonesia ini ialah, satu masjarakat Indonesia jang adil dan makmur, tanpa exploitation de l'homme par l'homme, satu masjarakat jang adil dan makmur,tjukup sandang tjukup pangan, gemah-ripahloh-djinawi. Ini adalah tudjuan kedua.
Tujuan ketiga daripada Revolusi Indonesia ialah satu dunia baru, satu susunan baru di seluruh bumi ini, dimana seluruh umat manusia berbahagia, satu dunia baru tanpa exploitation de l'homme par l'homme, kataku, satu dunia baru tanpa penghisapan manusia atas manusia, satu dunia tanpa penghisapan bangsa atas bangsa.Ini adalah tudjuan daripada Revolusi Indonesia, jang dengan satu perkataan aku katakan, ini adalah Amanat Penderitaan Rakjat.
Nah, oleh karena aku bitjara kepada kaum tani, kaum tani didesa-desa,kaum tani dilereng-lereng gunung,kaum tani dekat dari sini, kaum tani jauh dari sini,maka hendak aku tjeritakan terlebih dahulu apa sebab aku namakan Amanat Penderitaan Rakjat. Rakjat Indonesia dalam apa jang dinamakan gerakan rakjat Indonesia untuk menudju sesuatu hal,telah menderita habis-habisan.Tudjuannja apa? Tudjuannja ialah pertama ingin mempunjai negara sendiri jang berdaulat, jang merdeka penuh,jang berbentuk Republik berwilajah kekuasaan antara Sabang dan Merauke.
Tudjuan dari gerakan rakjat itu ialah untuk satu masjarakat Indonesia jang adil dan makmur tanpa penghisapan,tanpa kemiskinan, tanpa kemudaratan, tanpa kemelaratan, tanpa hidup jang tidak lajak.
Tujuan ketiga daripada gerakan rakjat Indonesiaitu ialah satu dunia baru sebagai kukatakan tadi.
Nah ini adalah tudjuan daripada gerakan rakjat Indonesia sedjak berpuluh-puluh tahun, sedjak dari djamannja Sultan Agung Hanjokrokusumo, sedjak daripada djamannnja Diponogoro,sedjak dari djamannja kita mengadakan partai-partai politik, tetapi tudjuan daripada seluruh gerakan rakjat Indonesia adalah itu.Dan untuk mentjapai,memperdjoangkan tudjuan ini Rakjat Indonesia telah menderita dan berkorban sehabis-habisnja. Menderita dan berkorban, menderita pendjara, menderita Boven-Digoel, menderita segala kesengsaraan didalam Revolusi phisik, menderita membakar rumahnja sendiri, menderita kehilangan suami, menderita kehilangan isteri, menderita kehilangan anak, menderita kehilangan radjakaja, pendek menderita, menderita, menderita. Achirnja, Saudara-saudara, gerakan rakjat ini datang kepada satu saat jang kita bisa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus '45.
Tapi dengan adanja proklamasi 17 Agustus '45 itu,tudjuan daripada gerakan rakjat ini belum tertjapai seluruhnja.Baru kita bisa mengadakan proklamasi, tetapi tudjuan jang lain-lain belum tertjapai.Nah,Rakjat seakan-akan mengamamanatkan kepada kita, kepadaku, kepadamu,kepadamu, kepadamu,kepadamu,kepadamu, kepadamu, kepada kita semuanja, agar supaja penderitaan Rakjat jang berpuluh-puluh tahun ini kita tebus, kita djadikan satu realitas, tudjuan daripada penderitaan ini. Rakjat laksana mengamanatkan kepada Pak Chairul Saleh, kepada Pak Leimena, kepada Pak Nasution, kepada Pak Yani, kepada Pak Asmu, kepada Pak Bambang Murtijoso, kepada Pak Suprajogi, kepada Pak Surjadi, kepada Ibu Subandrio,kepada Ibu Rusiah Sardjono, kepadaku, kepadamu, kepadamu, kepadamu, kepadamu, kepada kita sekalian: Hai, hai orang Indonesia jang hidup dalam keadaan sekarang ini, hai orang Indonesia dalam generasi sekarang ini, hai orang Indonesiasekarang ini, landjutkanlah perdjoangan kita,landjutkanlah perdjoangan kita jang kita telahdjalankan dengan penuh penderitaan; landjutkan, berusahalah, berdjoanglah, peraslah engkau-punja tenaga dan keringat, agar supaja negara Republik Indonesia jang berwilajah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke mendjadi negara jang kuat, Republik jang kuat, Republik jang berdaulat, Republik jang disegani dan dihormati oleh seluruh umat manusia didunia ini. Berdjoanglah terus, berichtiarlah terus, bantinglah tulangmu terus, peraslahkeringatmu terus, agar supaja bangsa Indonesia ini, semuanja 105 djuta manusia, hidup didalam kebahagiaan, tidak hidup ketjingkrangan, tidak hidup kekurangan, tidak hidup tertindas ,tidak hidup dalam kemudaratan, pendek, hidup sebagai kita tjita-tjitakan dari djaman dahulu pula, hidup didalam keadaan gemah-ripahloh-djinawi, tata-tentrem karta rahardja.Hai, manusia Indonesia jang hidup sekarang ini, kami
Rakjat Indonesia tadinja telah berpuluh-puluh tahun menderita, menderita tiang penggantungan, menderitabui, menderita pendjara, menderita pembuangan Boven-Digoel, mendrita, menderita, menderita, menderita, untuk mentjapai satu masjarakat jang adil dan makmur. Teruskanlah usaha ini, teruskanlah usaha ini, teruskanlah perdjoangan ini. Aku jang telah meninggal dunia, aku generasi jang terdahulu, aku amanatkan kepadamu, aku amanatkan kepadamu, agar supaja engkau berdjoang terus, bekerdja terus, membanting tula ng terus, agar supaja apa jang kita tjita-tjitakan itu tercapai. Demikian pula diamanatkan kepada kita agar supaja kita ini berdjoang terus, bekerdja terus, agar dunia jang bobrok ini, dunia jang penuh setan-setan ini, mendjadi satu dunia baru, tidak ada didalamnja penghisapan oleh manusia atas manusia, tidak ada didalamnja penghisapan bangsa atas bangsa. Nah,hai kaum tani Indonesia, merasakan engkau sudah bahwa amanat itu terletak djuga diatas pundaknja kaum tani,diatas pundakmu, pundakmu, pundakmu, kataku, diataspundakmu, pundakmu, pundakmu, kataku, tetapi djuga diatas pundaknja kaum tani, diatas pundak sekalian Rakjat Indonesia dari Sabang sampai Merauke?Na, Saudara-saudara, bukan sadja oleh karena kaum tani berdjumlah 72% daripada seluruh rakjat Indonesia, bukan sadja itu, bukan sadja karena itu maka aku katakan bahwa kaum tani adalah sokoguru daripada Revolusi Indonesia, tetapi djuga oleh karena tjita-tjitaRevolusi Indonesia ini hanjalah bisa terlaksana dengan keringatnja kaum tani pula. Djikalau tidak dengan keringat kaum tani, mana bisa kita mentjapai satu masjarakat adil dan makmur, tjukup sandang, tjukup pandang, gemah-ripah loh-djinawi. Tidak bisa, Saudara-saudara. Mana pemimpin jang berani mengatakan bahwa ia bisa mengadakan satu masjarakat jang adil dan makmur tanpa kaum tani? Mana pemimpin kaum buruh jang berani mengatakan bahwa ia bisa mendatangkan satu masjarakat jang adil!dan makmur hanja dengan tenaga buruh sadja?Djikalau tidak dengan tenaga kaum tani pula? Tadi Pak Leimana telah berkata, bukansandang-panga n, sandang-pangan, sandang hanja bisa terlaksana djikalau dikerdjakan oleh kaum tani pula. Pangan apa lagi, hanja bisa terlaksana djikalau dikerdjakan oleh kaum tani. Maka oleh karena itu aku berkata, kaum tani adalah sokoguru daripada Revolusi Indonesia. Dan Revolusi Indonesia itu. Saudara-saudara, bertudjuan tiga hal sebagai kukatakan tadi.Hal jang pertama ialah suatu negara Republik Indonesia jang bebas merdeka, bebas merdeka. Kita ini namanja, Saudara-saudara, telah merdeka, telah merdeka, tadinja kita tidak merdeka. Maka oleh karena itu kita lantas berdjoang untuk mentjapai kemerdekaan.Tadinja kita tidak merdeka, kita berdjoang untuk mendjadi merdeka. Apa sebab tadinja kita tidak merdeka, Saudara-saudara?
Tiap-tiap orang tani mengerti bahwa dulu kita tidak merdeka. Negara kita, politik diereh oleh Belanda, ekonomi kita diereh, sosial kita diereh;diereh jaitu diperintah, dikuasai. Kita dulu itu laksana terikat,tangan kita terikat, kaki kita terikat, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita tidak bebas, kita tidak merdeka. Oleh karena itu kita lantas mengadakan satu gerakan untuk melepaskan tali-tali ini, melepaskan semua ikatan-ikatan ini agar supaja kita merdeka.
Ikatan-Ikatan itu apa Saudara-saudara? Dulu kita diikat dengan apa? Tjoba pikirkan dengan tenang. Dulu kita ini tidak merdeka, dus kita dulu itu terikat, tidak merdeka adalah terikat. Kita dulu itu terikat oleh apa, dengan apa? Pikirkan, aku pernah berkata, ikatan itumatjam-matjam, ada ikatan militer, ada ikatan politik, ada ikatan sosial, ada ikatan kebudajaan, ada ikatan ekonomi, tetapi semua adalah ikatan. Dan ikatan-ikatan ini harus kita petjahkan, agar supaja kita merdeka, merdeka militer, merdeka politik, merdeka sosial, merdeka ekonomi, merdeka kebudajaan.Maka oleh karena itu aku memberi salah-satu djimat kepadamu, hai Rakjat Indonesia jang bernama Trisakti: Berdaulat penuh, politik, politik berdaulat penuh; ekonomis berdikari, berdiri diatas kaki sendiri, djangan terikat, djangan tergantung, djangan gumantung kepada siapapun; ketiga, didalam hal kebudajaan kita harus berkepribadian sendiri. Itu sebabnja, Saudara-saudara, maka arti Trisakti Tavip, Trisakti Bung Karno, adalah amat penting sekali buat Revolusi kita ini. Oleh karena Trisakti ini adalah sebenarnja inti daripada tudjuan Revolusi Indonesia.
Nah, dengarkan, kita dulu diikat, matjam-matjam ikatan, kataku, militer, politik, ekonomi, sosial, kulturil.Ikatan-ikatan itu ada jang terang-terangan, bisa dilihat dengan mata, ada ikatan jang tidak terang-terangan, tidak bisa dilihat dengan mata. Ikatan jang terang-terangan bisa dilihat dengan mata, saja selalu namakan ikatan riil. Riil artinja bisa diraba, bisa dilihat, bisa dipandang dengan mata, bisa ditjium dengan hidung, bisa didengar dengan telinga. Itu riil, kita diikat dengan ikatan-ikatan riil. Tetapi disamping itu kitapun diikatdengan ikatan-ikatan abstrak. Apa, Saudara-saudara tani, artinja perkataan abstrak? Abstrak artinja gaib. Gaib apa artinja? Gaib artinja tidak bisa filihat, tidak bisa diraba, tidak bisa ditjium dengan hidung kita, itu artinja gaib, artinja abstrak. Ikatan ini dua matjam,a da ikatan riil jang tampak njata, ikatan abstrak atau gaib jang tidak bisa kita lihat.Ikatan riil apa? Ikatan riil ialah misalnja, kita dikuasai dengan tentara-tentara Belanda, tentara Knil; kita dikuasai dengan bom-bom kita bisa lihat; kita dikuasai dengan pendjara-pendjara bisa kita lihat; kita dikuasai dengan kapal udara-kapal udara bisa kita lihat; kita dikuasai dengan kapal selam-kapal selam bisa kita lihat; kita dikuasai dengan dinamit-dinamit kita bisa lihat; ini adalah semuanja ikatan-ikatan riil. Ada lagi ikatan jang abstrak, kataku, gaib tidak bisa kita lihat, tidak bisa kita raba, apa itu? Misalnja, sebagai kukatakanberulang-ulang, ikatan jang membuat kita bentji satu-sama-lain antara kita dengan kita, politik memetjah-belah, kita dipetjah-belah, orang Djawa dibuat bentji sama orangSumatera, orang Sumatera dibuat bentji kepada orang Kalimantan, orang Kalimantan dibuat bentji sama orang Madura, orang Madura dibuat bentji sama orang Bugis, orang Bugis dibuat bentji sama orang Ambon, orang Ambon dibuat bentji kepada orang Irian; Ini adalah salah-satu ikatan jang tidak bisa diraba, tidak bisa kita lihat, ikatan abstrak, ikatan gaib.Begitupula kataku didalam salah-satu pidato,ikatan jang dinamakan rasa ketjil, -- bahasa asingnja inferiority-complex, minderwaardigheids-complex --, merasa ketjil, merasa kita tidak mampu apa-apa; jang mampu itu kan kulit putih, jang mampu itu adalah Belanda, jang mampu itu adalah jang sekarang ini memerintah, jaitu pihak Belanda. Kita ditjekoki dengan rasa jang demikian ini,ditjekoki, hai orang Indonesia, engkau, lu Indonesia, engkau tidak bisa berbuat apa-apa, engkau selalu harus kami pimpin, engkau tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga achirnja kita mendapat rasa jang demikian itu: Ja betul, betul, betul, kita orang Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa, jang bisa berbuat apa-apa hanjalah orang kulit putih sadja. Ini semuanja, Saudara-saudara, adalah ikatan-ikatan.Nah,itu semuanja harus kita petjahkan,djikalau memang benar-benar kita ingin mentjapai Trisakti, djikalau memang benar-benar kita ingin memenuhi Amanat Penderitaan Rakjat, djikalau benar-benar kita ingin mendjalankan tri-krangka daripada Revolusi. Kita haruspetjahkan semua ikatan-ikatan ini, baik ikatan jang riil, maupun ikatan jang tidak bisa dilihat, jaitu jang abstrak dan gaib. Salah-satu ikatan lagi ialah ikatan ekonomi, Saudara-saudara.Ikatan ekonomi, kita dibuat tergantung pada negeri Belanda atau pada dunia Barat setjara ekonomis, seluruh ekonomi kita dikuasai oleh mereka, sampai kepada makanan kita sehari-hari, Saudara-saudara, kita harus dapat dari mereka, kita punja sandang, kita dapat daripada mereka. Dua minggu jang lalu aku berpidato di Bogor, aku katakan di Bogor itu, bahwa dulu diabad 18, abad 18 masih, wah apalagi, Saudara-saudara, abad ke-10, abad 11,abad ke-12,abad ke-13,abad 15,16,17, abad 18 masih, kita itu masih selfsupporting, self-sufficient hal sandang. Apa artinja self-supporting, apa artinja self-sufficient? Kita bisa memenuhi kebutuhan kitasendiri, kita tanam kita- unja kapas sendiri, kita tenun kita punja tekstil, jaitu bahan pakaiansendiri, tidak perlu kita import dari negara luar.
Tapi imprialisme membuat kita tergantung daripada mereka, kita-punja kegunaan untuk membuat pakaian sendiri dimatikan oleh mereka, diganti oleh mereka itu dengan import tekstil dari luar, import tekstil dari negeri Belanda, sehingga achirnja kita, Saudara-saudara, telandjang kalau kita tidak memakai pakaian buatan pabrik negeri Belanda. Nah, ini kita semuanja harus kita petjahkan samasekali. Disinilah, Saudara-saudara, rol jang penting daripada kaum tani, sebagai dikatakan oleh Pak Leimena tadi itu, dilapangan sandang, dilapangan pangan, kaum tani adalah decisive. Decisive artinja dia jang menentukan, bukan fihak lain, Saudara-saudara.Dengan terus terang sadja, kalau mengenai terut ama sekali pangan, sokoguru jang nomor dua,kaum buruh itu, ja nomor dua; nomor satu ialah tani, tani jang bisa memberi kita pangan. Mana ada manusia hidup tanpa pangan?Kita bisa hidup tanpa automobiel,kita bisa hidup tanpa lampu, kita bisa hidup tanpa sepatu,kita bisa hidup tanpa dasi, kita bisa hidup tanpa tjelana,kita bisa hidup tanpa barang-barang jang lain-lain, tetapi bisakah engkau hidup tanpa pangan, bisakah engkau hiduptanpa makan? Manusia harus makan, sebagaimana juga manusia-sebagai dikatakan oleh Dr Sun Yat Sen almarhum-membutuhkan udara ini. Kalau tidak ada udara, manusia mati, ia tidak bisa ambegan,ia tidak bisa menghirup udara,ia mati. Demikian pula manusia kalautidak ada pangan,mati. Nah, pangan itu asalnja dari mana, Saudara-saudara? Usaha kaum tani. Oleh karena itu aku katakan, kaum tani adalah pula sokoguru daripada Revolusi Indonesia,jang bertudjuan untuk mengadakan tj ukup sandang tjukup pangan buat Rakjat Indonesia ini seluruhnja dari Sabang sampai ke Merauke.Saja ulangi,kita harus petjahkan samasekali ikatan-ikatan ini. Ikatan militer sudah kitapetjahkan, ikatan politik sedang kita petjahkan, ikatan-itu tadi-pemetjah-belahan, sedang kita petjahkan. Kita mengadakan politik Nasakom, kita mengadakan politik persatuan Indonesia dan kesatuan Indonesia.Malahan, tadi kalau saja mendengar Pak Djasmin, Pak Sudjasmin, saja mendengar lagu Nasakom itu, barangkali ada lebih baik kita koreksi sedikit, bukan hanja ,,Na-sa-kom djiwaku". Haa (Didjawab oleh hadirin: Betul, betul-Red) Na-sa-kom djiwaku, hahaa, lebiih hakkul jakin masuk bersemajam di dalam kita punja dada, bukan tjuma bersatu, tetapi djiwaku adalah djiwa Nasakom.Tadi Pak Leimena mengatakan tentang Musjawarah Besar Tani ini,Saudara-saudara, pidato berkobar-kobar,waktu saja minta beliau menjanji,jaah,sedikit ,,njeleweng-njeleweng", lagu ,,Ajo Mama" itu tadi, bagaimana lagu ,,Ajo Mama", Pak Leimena? (Pak Leimena tampil kedepan danmenjanji-Red: ,,Kalau Tuan memotong manggis, djanganlah makan ditengah sawah: nekolim duduk menangis, melihat tani Indonesia musjawarah").Ja,lha tadi kenapa kok gemetar? (Presiden lalu menjanji, disambung dengan refreinnja--Red.),,Kalau Tuan memakan manggis, djangan dimakan ditengah sawah; nekolim semua menangis,kaum tani bermusjawarah".Nah Saudara-saudara,hai kaum tani Indonesia,itulah sebabnja aku sangat bergembira diadakan Mubes tani. Segala potensi daripada kaum tani, sokoguru daripada Revolusi ini dipersatu-padukan untuk menjelesaikan Revolusi Indonesia ini jang memang belum selesai.Dengan Mubes tani ini kita bisa menggembleng sokoguru tani mendjadi satu sokoguru jang terbuat daripada besi dan badja,jang kaum nekolim tidak akan bisa menggerogotinja, sehingga kaum nekolin tidak akan bisa menggugurkan Revolusi Indonesia ini. Bekerdjalahsekuat-kuatnja.
Hai Mubes Tani, benar-benar tjapailah dengan Mubes-mu ini apa jang kaudjandjikan kepadaku didalam pidato pembukaan oleh Pak Bambang Murtijoso tadi. Saja berkata, bahwa pokok daripada segala pokok, bukan sadja, bukan sadja kesadaran tani, Saudara-saudara, sebagai sokoguru daripada Revolusi ini,tetapi djuga kesadaran jang sampai meningkat kepada hakkul jakin, bahwa Revolusi Indonesia hanjalah bisa selesai kalau bangsa Indonesia ini bersatu-padu,bahwa Nasakom bukan sadja kita lihat sebagai satu phenomeen bersatu, tetapi saja meminta kepada seluruh kaum tani,seluruh kaumburuh, seluruh sukarelawan, seluruh Angkatan Bersendjata,supaja berkata, Nasakom djiwaku, Nasakom djiwaku, Nasakom djiwaku!Hanja djikalau demikianlah,Saudara-saudara, kita benar-benar bisa melandjutkan Revolusi ini sehingga tertjapai segala apa jang diamanatkan oleh Rakjat kepada kita jang hidup sekarang ini. Sekian,Saudara-saudara, terimakasih. --------------------

SUKARNO PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA
Copyright © 2013.TOTO CALEG PDIP - Posts · Comments
Theme Template by Bang Jali · Powered by Blogger